Papan Tulis yang Mulai Pudar
Langkah kaki Pak Wirya menggema di sepanjang lorong sekolah yang kini terasa asing baginya. Dinding yang dulu dipenuhi coretan kapur dan pengumuman tertulis kini berganti dengan layar digital yang menampilkan jadwal kelas secara otomatis. Sekolah ini bukan lagi sekolah yang sama seperti saat ia pertama kali mengajar 20 tahun lalu.
Pak Wirya berhenti di depan ruang guru, menatap sejenak bayangannya di kaca jendela. Garis-garis halus mulai menghiasi wajahnya, rambutnya mulai dipenuhi uban. Namun, yang lebih terasa menyakitkan bukanlah perubahan pada dirinya, melainkan perubahan pada dunia pendidikan yang semakin jauh dari yang ia kenal.
Di dalam kelas, suasana lebih sunyi daripada biasanya. Bukan karena murid-muridnya fokus mendengarkan pelajaran, tapi karena mereka semua tenggelam dalam layar gadget masing-masing. Suara notifikasi terdengar sesekali, disusul oleh tawa kecil yang berusaha ditahan. Pak Wirya berdiri di depan kelas, memegang spidol hitam yang terasa begitu ringan, namun juga begitu asing baginya.
“Apakah aku masih dibutuhkan di sini?”
Pertanyaan itu menggema di benaknya. Dulu, mengajar adalah hidupnya. Ia percaya bahwa dengan kata-kata dan pengalaman, ia bisa menyalakan semangat belajar dalam diri murid-muridnya. Tapi kini, ia merasa seperti seorang penyiar radio yang berbicara di kanal yang sudah tidak didengarkan lagi.
Pak Wirya menarik napas dalam. Ia mengetuk papan tulis dengan spidol di tangannya. Tok, tok, tok. Tak ada yang merespons. Ia mencoba menaikkan suaranya sedikit.
“Baik, anak-anak. Kita mulai pelajaran hari ini.”
Beberapa kepala terangkat malas. Seorang murid di barisan belakang dengan enggan meletakkan ponselnya di bawah meja. Yang lainnya masih sibuk dengan layar masing-masing, seolah dunia nyata tak lagi semenarik dunia virtual mereka.
Pak Wirya menahan diri untuk tidak menghela napas. Dua puluh tahun lalu, murid-murid akan berebut maju ke depan kelas untuk menulis di papan tulis. Mereka akan bertanya, berdiskusi, bahkan berdebat tentang materi pelajaran. Tapi kini? Semua jawaban sudah ada di ujung jari mereka, di dalam mesin pencari dan chatbot AI yang lebih cepat memberikan jawaban daripada dirinya.
Ia melangkah ke papan tulis, menuliskan satu kata besar dengan spidol hitam:
“BERPIKIR.”
“Kalian tahu, anak-anak?” Pak Wirya menoleh ke arah kelas, mencoba menangkap perhatian mereka. “Teknologi bisa memberimu jawaban, tapi hanya otakmu yang bisa memahami arti sebenarnya.”
Tak ada yang langsung menjawab. Tapi di sudut kelas, seorang murid, Tama, mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu sejenak. Mungkin, hanya mungkin, masih ada harapan di sini.
Pak Wirya mengencangkan genggaman spidolnya. Ia belum akan menyerah. Tidak hari ini. Tidak sekarang.
Godaan Teknologi dan AI
Pak Wirya duduk di ruang guru, menatap kosong ke luar jendela. Hatinya masih berat setelah kejadian di kelas tadi. Murid-muridnya lebih sibuk dengan layar gadget daripada memperhatikan pelajaran. Mereka bukan hanya kehilangan fokus, tetapi juga kehilangan keinginan untuk berpikir.
Sebuah suara mengalihkan perhatiannya.
“Pak, sudah lihat fitur baru di AI pembelajaran kita?” tanya Bu Rini, rekannya sesama guru. Ia menunjukkan sebuah aplikasi di tabletnya. Sebuah AI generatif yang bisa menjawab semua pertanyaan siswa dalam hitungan detik.
Pak Wirya menatap layar itu dengan skeptis. “Secepat itu?”
“Bukan cuma cepat, Pak. AI ini bisa menjelaskan konsep sulit dengan bahasa sederhana, bahkan lebih menarik daripada kita.”
Pak Wirya menelan ludah. Sesuatu di dalam dirinya berdesir. Apakah ia—seorang guru dengan pengalaman dua dekade—akan kalah oleh sebuah program komputer?
…
Keesokan harinya, di kelas.
Pak Wirya berdiri di depan papan tulis, mencoba menarik perhatian murid-muridnya.
“Baik, anak-anak. Kita bahas teori relativitas hari ini.”
Tak ada yang bereaksi. Murid-muridnya menunduk, bukan untuk mencatat, tetapi untuk mengetik sesuatu di ponsel mereka.
Beberapa detik kemudian, Tama mengangkat tangan. “Pak, saya sudah dapat jawabannya.”
Pak Wirya mengernyit. “Baru mulai, kok kamu sudah selesai?”
Tama menoleh ke layar ponselnya. “Saya tanya ke AI, Pak. Katanya teori relativitas itu tentang bagaimana ruang dan waktu bisa berubah tergantung dari kecepatan seseorang bergerak.”
Pak Wirya terdiam. Jawabannya benar. Tapi sesuatu terasa salah.
Ia menatap Tama dan teman-temannya. Mereka menunggu, seolah pelajaran sudah selesai hanya karena AI sudah memberi jawaban.
“Kalian tahu artinya?” tanya Pak Wirya, mencoba menggali pemahaman mereka.
Tama terdiam. Begitu juga yang lain. Mereka tidak benar-benar memprosesnya. Mereka hanya menyalin.
…
Hari itu, kegelisahan Pak Wirya semakin besar. Ia berjalan di sepanjang koridor sekolah, mengamati para murid di sela-sela jam istirahat. Di sudut taman, sekelompok siswa duduk bersama, tetapi tak satu pun berbicara. Masing-masing sibuk menatap layar, jari-jemari lincah mengetik di ponsel.
Di kantin, ia melihat Rina sedang mengerjakan PR Matematika di laptopnya. Atau setidaknya, begitu yang terlihat. Saat Pak Wirya mendekat, ia melihat bahwa Rina hanya menyalin jawaban dari sebuah chatbot AI tanpa berusaha memahami caranya.
“Rina,” panggilnya lembut.
Rina tersentak, buru-buru menutup laptopnya. Tapi terlambat. Di layar, sebuah jendela chat AI masih terbuka dengan jawaban soal yang tersusun rapi.
“Kamu mengerjakan PR atau AI yang mengerjakan untukmu?” tanyanya.
Rina menggigit bibirnya. “Saya cuma cari referensi, Pak…”
Pak Wirya tersenyum tipis, meskipun hatinya sakit. “Mencari referensi bukan berarti tidak berpikir.”
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa kasihan. Murid-muridnya semakin tergantung pada teknologi, hingga kehilangan kemampuan berpikir mandiri.
Di pikirannya, satu pertanyaan terus berputar: Jika guru hanya dianggap sebagai ‘pemberi jawaban’, lalu apa bedanya aku dengan AI?
Ia tahu, saatnya telah tiba. Ia tidak bisa menolak teknologi. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan murid-muridnya menjadi budak dari AI.
…
Malam itu, Pak Wirya menatap buku catatannya. Ia menulis satu kalimat yang akan menjadi landasan perjuangannya:
“Teknologi seharusnya membantu manusia berpikir, bukan menggantikan pikiran manusia.”
Dan besok, ia akan membuktikan bahwa guru masih lebih berarti daripada sekadar program komputer.
Guru vs Mesin
Pagi itu, Pak Wirya berdiri di depan kelas dengan tatapan lebih tajam dari biasanya. Hari ini, ia tidak akan membiarkan pikirannya dikalahkan oleh algoritma.
Ia melangkah ke papan tulis dan menuliskan satu soal sederhana:
“Sebuah benda jatuh dari ketinggian 10 meter. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tanah?”
Sebelum ia sempat berbalik, Tama sudah mengetik di ponselnya. Dalam hitungan detik, ia mengangkat tangan dengan percaya diri.
“Pak, AI bilang waktunya sekitar 1,43 detik,” katanya sambil tersenyum puas.
Pak Wirya mengangguk pelan. “Bagus. Sekarang, coba jelaskan kenapa jawabannya bisa seperti itu.”
Tama terdiam. Senyumnya memudar. Matanya kembali ke layar, mencari jawaban lebih lanjut.
“Tidak boleh cari lagi,” kata Pak Wirya tegas. “Jelaskan dengan pemahamanmu sendiri.”
Hening. Semua murid mulai saling lirik.
Di barisan belakang, Rina berbisik ke temannya, lalu cekikikan kecil terdengar. “Tanpa AI, kita mati gaya,” katanya setengah bercanda.
Pak Wirya menatap mereka satu per satu. “Kalian percaya dengan jawaban yang AI berikan, tapi kalian tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Itu artinya bukan kalian yang berpikir. Kalian hanya menyalin.”
Beberapa murid mengerutkan dahi. Ada yang terlihat tidak peduli, tapi sebagian mulai menyadari sesuatu.
Pak Wirya menghela napas. “Baiklah. Kalau kalian lebih percaya mesin daripada guru, mari kita buktikan.”
…
Lima belas menit kemudian, suasana kelas berubah. Pak Wirya membawa sekantong pasir dan bola karet.
“Kita uji sendiri,” katanya sambil meletakkan bola di atas meja. “Kalau AI bilang 1,43 detik, mari kita lihat apakah benar.”
Ia meminta Tama mengambil stopwatch di ponselnya. “Kamu yang hitung.”
Tama menekan tombol saat bola dijatuhkan. Semua murid menahan napas. Begitu bola menyentuh lantai, angka di layar stopwatch menunjukkan 1,5 detik.
“AI salah!” seru seorang murid.
Pak Wirya tersenyum. “Atau mungkin, ada faktor lain yang memengaruhi?”
Murid-murid mulai berpikir. Ada yang melihat permukaan lantai, ada yang mengamati bola, ada yang menuliskan sesuatu di kertas.
Baru kali ini, setelah sekian lama, Pak Wirya melihat mata mereka benar-benar berpikir.
…
Seusai kelas, Pak Wirya duduk di mejanya, mengamati murid-murid yang beranjak pergi. Tama berjalan lebih lambat, lalu berhenti di pintu.
“Pak,” katanya pelan. “Saya baru sadar… selama ini saya nggak benar-benar belajar.”
Pak Wirya menatapnya dengan penuh harapan. “Kamu masih punya banyak waktu untuk berubah.”
Tama mengangguk pelan, lalu pergi.
Pak Wirya tersenyum tipis. Hari ini, ia menang. Bukan melawan teknologi, tapi melawan ketergantungan murid-muridnya pada sesuatu yang bahkan tidak berpikir.
Namun, pertempuran ini masih panjang.
Pertempuran di Kepala Sekolah
Siang itu, setelah bel terakhir berbunyi, Pak Wirya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ia sudah menduga akan ada reaksi dari metode mengajarnya tadi pagi.
Begitu masuk, ia langsung disambut dengan suara tegas Pak Joko, sang kepala sekolah.
“Pak Wirya, saya dengar Anda menolak penggunaan AI di kelas?”
Pak Wirya berdiri tegak. “Saya tidak menolak, Pak. Saya hanya ingin murid-murid berpikir sebelum menerima jawaban dari AI.”
Pak Joko menghela napas, lalu mendorong sebuah laporan ke arah Pak Wirya. “Ini hasil survei orang tua murid. Banyak yang khawatir metode mengajar Anda tidak mengikuti perkembangan zaman.”
Pak Wirya mengambil laporan itu, membacanya sekilas. Kata-kata yang tertulis di sana menusuk perasaannya:
- “Mengapa guru masih menyuruh anak-anak berpikir manual? AI bisa mempercepat proses belajar.”
- “Anak saya bilang cara Pak Wirya mengajar lebih lambat daripada AI.”
- “Masa depan ada di teknologi. Jika sekolah tidak menyesuaikan, anak-anak kita akan tertinggal.”
Pak Wirya menghela napas panjang. Ini bukan hanya pertempuran di dalam kelas, tapi juga di luar kelas.
Pak Joko melipat tangan di atas meja. “Saya paham niat baik Anda, Pak Wirya. Tapi kita juga harus mendengar aspirasi orang tua dan tren pendidikan global. AI bukan musuh.”
Pak Wirya menatap lurus ke mata kepala sekolahnya. “Saya tidak pernah menganggap AI sebagai musuh. Yang saya lawan adalah ketergantungan buta. Murid-murid kita lebih percaya pada layar daripada pada pemikiran mereka sendiri. Jika kita tidak hati-hati, kita akan kehilangan generasi yang mampu berpikir kritis.”
Pak Joko terdiam sejenak. Ada keraguan di matanya.
“Baiklah,” akhirnya ia berkata. “Tapi coba pikirkan ini: Bagaimana kalau kita bisa menggabungkan metode Anda dengan teknologi? Bukan menolaknya, tapi mengarahkannya?”
Pak Wirya mengerutkan kening. Ia belum pernah benar-benar mempertimbangkan itu. Selama ini, ia berpikir bahwa hanya ada dua pilihan: menerima AI sepenuhnya atau menolaknya. Tapi bagaimana kalau ada jalan tengah?
Pak Joko tersenyum tipis. “Saya ingin Anda mencoba. Temukan cara agar teknologi tidak mengambil alih, tapi justru membantu murid-murid kita belajar lebih baik.”
Pak Wirya keluar dari ruang kepala sekolah dengan langkah pelan. Pertempuran ini belum berakhir, tapi ia baru saja menemukan strategi baru.
Besok, ia akan mencoba sesuatu yang berbeda. Bukan melawan teknologi, tapi memanfaatkannya dengan cara yang benar.
Kelas Tanpa Jawaban
Pagi itu, Pak Wirya berdiri di depan kelas dengan rencana baru. Hari ini bukan hari biasa. Hari ini, ia akan menantang murid-muridnya untuk berpikir, tanpa bisa mengandalkan AI sepenuhnya.
Ia berjalan ke papan tulis, menulis satu kalimat besar:
“Bagaimana cara seorang buta menyeberang jalan di kota yang tidak punya lampu lalu lintas?”
Murid-murid langsung bergerak. Beberapa buru-buru mengambil ponsel, ada yang membuka laptop. AI tentu bisa menjawab ini dalam hitungan detik.
Pak Wirya tersenyum. “Stop.”
Semua kepala terangkat.
“Untuk soal ini, kalian tidak boleh menggunakan AI,” katanya. “Kalian harus berpikir sendiri.”
Keluhan langsung terdengar. “Pak, ini susah!” seru Tama.
“Justru karena itu, saya berikan pertanyaan ini.”
Suasana kelas mulai panas. Murid-murid terbiasa dengan jawaban instan. Tanpa AI, mereka seperti kehilangan pegangan.
Rina menghela napas, menekan pelipisnya. “Tapi, Pak, kalau AI bisa kasih jawabannya lebih cepat dan akurat, kenapa kita harus capek-capek mikir?”
Pak Wirya tersenyum tipis. “AI bisa memberi jawaban, tapi tidak bisa memberi kalian pengalaman berpikir.”
Murid-murid saling pandang. Beberapa mulai mengerutkan kening, mencoba memahami maksud Pak Wirya.
Lima belas menit berlalu.
Tama mengangkat tangan. “Pak, saya kepikiran! Mungkin, orang buta bisa pakai tongkat khusus yang punya sensor untuk mendeteksi kendaraan?”
Pak Wirya mengangguk. “Bagus. Itu satu ide. Ada yang lain?”
Satu per satu, murid-murid mulai berbicara. Ada yang menyebut anjing penuntun, ada yang mengusulkan bantuan suara otomatis di jalan, bahkan ada yang mengusulkan sistem sensor di trotoar.
Mata mereka berbinar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka benar-benar berpikir tanpa bergantung pada mesin.
Setelah diskusi panjang, Pak Wirya melipat tangannya. “Kalian lihat? Kalian bisa menemukan jawaban sendiri. Tanpa AI pun, otak kalian tetap bekerja.”
Murid-murid tersenyum kecil. Mereka mulai mengerti.
…
Siang itu, ketika Pak Wirya berjalan pulang, ia merasa ada harapan. AI tidak bisa dikalahkan. Tapi ia juga tidak perlu dikalahkan. Yang perlu ia lakukan adalah mengajarkan murid-muridnya cara berpikir, bukan hanya cara mencari jawaban.
Dan itu adalah pertempuran yang sebenarnya. Pertempuran untuk membuat mereka tetap menjadi manusia.
Kecanduan yang Tak Disadari
Malam itu, Pak Wirya duduk di teras rumahnya, menatap langit yang kelam. Hatinya masih resah meskipun siang tadi ia berhasil membuat murid-murid berpikir tanpa bantuan AI.
Namun, ada sesuatu yang lebih besar yang mengganggu pikirannya. Apakah mereka benar-benar belajar? Atau mereka hanya sesaat terlepas dari belenggu teknologi?
Pikirannya melayang pada kejadian di kelas tadi pagi. Saat murid-muridnya kehilangan akses ke AI, mereka terlihat seperti kehilangan pegangan hidup. Matanya teringat pada Rina, yang berulang kali mengetuk layar ponselnya dengan gelisah meskipun tidak sedang digunakan.
Ia menghela napas. Ini bukan hanya soal AI. Ini soal ketergantungan yang lebih dalam.
…
Keesokan harinya, ia kembali ke kelas dengan sebuah eksperimen baru.
Saat semua murid sudah duduk, ia berkata, “Hari ini, kita akan melakukan sesuatu yang berbeda. Saya punya tantangan untuk kalian.”
Murid-murid menatapnya dengan penasaran.
“Saya ingin kalian menyimpan ponsel kalian di laci meja selama satu jam penuh.”
Seisi kelas mendadak sunyi.
Beberapa murid mulai gelisah. Tama menatapnya dengan ragu. “Pak, maksudnya… satu jam tanpa gadget?”
Pak Wirya mengangguk. “Betul. Satu jam saja.”
Rina tertawa kecil, tapi terdengar gugup. “Wah, bisa gila kita, Pak.”
“Coba dulu,” kata Pak Wirya dengan tenang. “Siapa tahu kalian menemukan sesuatu yang baru.”
Satu per satu, dengan berat hati, para murid menyimpan ponsel mereka di laci. Pak Wirya bisa melihat kegelisahan di wajah mereka. Ada yang menggigit kuku, ada yang menggoyangkan kaki dengan cepat, ada yang bahkan berulang kali menyentuh lacinya, seolah-olah ingin memastikan ponselnya masih ada.
Lima menit pertama, mereka mulai resah.
Sepuluh menit berlalu, Rina mulai mengetuk-ngetukkan jari di meja. Tama meremas tangannya sendiri.
Lima belas menit, seseorang sudah mulai menghela napas panjang, menoleh ke jendela dengan bosan.
“Pak,” bisik salah satu murid di belakang. “Ini lama banget.”
Pak Wirya tersenyum, tetapi hatinya justru semakin berat. Mereka benar-benar kecanduan.
…
Tiga puluh menit berlalu, dan sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Beberapa murid mulai berbicara satu sama lain. Tanpa ponsel di tangan, mereka akhirnya menoleh ke teman-teman di sampingnya. Percakapan kecil mulai terjadi.
Ada yang mulai menggambar di kertas kosong. Ada yang mengobrol tentang tugas. Bahkan Tama, yang biasanya sibuk menatap layar, mulai berbincang dengan teman sebangkunya tentang hobi mereka.
Pak Wirya tersenyum dalam hati. Mereka mulai terhubung kembali—bukan dengan mesin, tetapi dengan sesama manusia.
Ketika satu jam berlalu dan ia mengizinkan mereka mengambil ponsel kembali, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Tidak semua langsung meraihnya.
Beberapa masih tetap berbincang, masih tertawa. Seolah-olah mereka baru sadar bahwa dunia di luar layar ternyata masih ada.
Pak Wirya menatap mereka dengan bangga. Hari ini, ia kembali memenangkan satu pertempuran kecil.
Namun, ia tahu perang ini belum selesai. Perubahan butuh waktu, dan ia harus bersabar.
Murka di Ruang Guru
Siang itu, begitu bel istirahat berbunyi, Pak Wirya melangkah ke ruang guru dengan perasaan lega. Eksperimen kecilnya tadi pagi berjalan lebih baik dari yang ia kira. Murid-muridnya mulai menyadari bahwa dunia nyata lebih luas daripada layar gadget mereka.
Namun, begitu ia masuk ke ruang guru, suasana mendadak berubah.
Di sudut ruangan, Bu Mirna—guru matematika—sedang berdiri dengan wajah merah padam. Di hadapannya, Pak Joko, sang kepala sekolah, tampak berusaha menenangkan.
“Apa-apaan ini, Pak Joko?” suara Bu Mirna melengking. “Barusan saya ditelepon oleh orang tua murid! Mereka bilang Pak Wirya melarang anak-anak pakai ponsel di kelas! Katanya, anak-anak jadi stres, gelisah, dan malah nggak bisa belajar dengan baik!”
Pak Wirya tercekat. Ia tidak menyangka reaksi akan secepat ini.
Pak Joko menghela napas panjang. “Tenang dulu, Bu Mirna. Saya yakin Pak Wirya punya alasan.”
Bu Mirna berbalik, menatapnya tajam. “Pak Wirya, Anda tahu tidak, zaman sudah berubah? Anak-anak sekarang butuh teknologi! Kenapa justru Anda membatasi mereka?”
Pak Wirya menelan ludah. Ia tahu ini akan datang, tetapi tidak menyangka secepat ini.
Dengan tenang, ia melangkah lebih dekat. “Saya tidak pernah melarang teknologi, Bu. Saya hanya ingin mereka berpikir dulu sebelum bergantung pada layar.”
Bu Mirna tertawa sinis. “Dan hasilnya? Orang tua mengadu ke sekolah! Mereka bilang anak-anak merasa cemas, seperti kehilangan sesuatu! Anda sadar tidak, itu artinya metode Anda justru menyusahkan?”
Pak Wirya terdiam sejenak. Ia mengerti apa yang dimaksud. Ketika seseorang sudah kecanduan sesuatu, tiba-tiba kehilangannya memang bisa menimbulkan kecemasan. Tapi apakah itu berarti ia harus menyerah?
Pak Joko menatapnya, menunggu jawabannya.
Akhirnya, Pak Wirya berkata dengan suara tegas, “Justru itulah masalahnya, Bu Mirna.”
Bu Mirna mengerutkan kening. “Maksud Anda?”
Pak Wirya melangkah mendekat. “Coba pikirkan ini: kalau mereka benar-benar butuh teknologi untuk belajar, kenapa mereka justru merasa tersiksa saat tidak menggunakannya? Seharusnya teknologi membantu mereka, bukan membuat mereka kecanduan sampai tidak bisa berpikir tanpa itu.”
Bu Mirna terdiam. Pak Joko melipat tangan di depan dada, seolah mulai mempertimbangkan argumen Pak Wirya.
Pak Wirya melanjutkan, “Kalau hari ini kita membiarkan mereka terus bergantung pada layar tanpa pernah melatih otak mereka berpikir sendiri, apa yang akan terjadi lima atau sepuluh tahun ke depan?”
Ruangan sunyi. Para guru lain mulai mendengarkan.
Pak Wirya menatap satu per satu rekan-rekannya. “Apakah kita ingin menciptakan generasi yang pintar mencari jawaban, tapi tidak bisa memahami? Yang tahu semua informasi, tapi tidak tahu bagaimana menggunakannya?”
Pak Joko akhirnya berbicara, suaranya lebih lembut kali ini. “Jadi, maksudmu kita harus mencari keseimbangan?”
Pak Wirya mengangguk. “Saya tidak menentang AI atau teknologi, Pak. Saya hanya ingin mereka tahu kapan harus menggunakannya, dan kapan mereka harus berpikir sendiri.”
Pak Joko terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Saya rasa, ada benarnya.”
Bu Mirna masih tampak tidak sepenuhnya setuju, tetapi tidak bisa membantah lagi. Ia menghela napas, lalu mengambil tasnya. “Saya harap Anda tahu apa yang Anda lakukan, Pak Wirya.”
Saat Bu Mirna keluar dari ruangan, Pak Wirya menatap ke luar jendela.
Di luar sana, murid-muridnya sedang bermain tanpa ponsel di tangan. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka berbicara satu sama lain, tertawa, bercanda.
Dan untuk pertama kalinya, Pak Wirya merasa ia tidak sendirian dalam perjuangannya.
…
Login Ke Hati Murid
Malam itu, Pak Wirya duduk di meja kerjanya, menatap buku catatan yang terbuka di depannya. Hari-hari yang ia lalui begitu berat, penuh tantangan, penuh pertentangan.
Namun, satu hal yang pasti—ia tidak pernah merasa lebih hidup dari ini.
Tangannya menggenggam pena, menuliskan satu kalimat di atas kertas:
“Mengajar bukan tentang memberi jawaban. Mengajar adalah tentang menyalakan pemikiran.”
Ia tersenyum kecil, mengingat wajah murid-muridnya beberapa minggu terakhir. Mereka masih bermain gadget, masih menggunakan AI untuk mencari jawaban. Tapi kini, ada perbedaan.
Mereka tidak lagi sekadar menerima jawaban mentah. Mereka mulai bertanya, mulai berpikir, mulai mencari makna di balik informasi yang mereka temukan.
…
Esok paginya, sebuah kejutan menanti.
Begitu masuk ke kelas, Pak Wirya mendapati sesuatu yang berbeda.
Murid-muridnya duduk di meja tanpa memegang ponsel.
Di papan tulis, ada sebuah tulisan besar:
“Pak Wirya, terima kasih sudah mengajarkan kami untuk berpikir.”
Pak Wirya berhenti sejenak, matanya menelusuri satu per satu wajah mereka. Tidak ada ekspresi malas, tidak ada tatapan kosong yang biasanya tertuju ke layar gadget.
Mereka menatapnya—dengan mata yang benar-benar hadir.
Tama, yang biasanya sibuk bermain game, kini mengangkat tangan lebih dulu. “Pak, saya baca artikel tadi pagi, dan saya pikir AI itu seperti pisau, ya? Kalau kita nggak hati-hati, bisa berbahaya. Tapi kalau tahu cara pakainya, kita bisa jadi chef yang hebat.”
Pak Wirya tersenyum. “Tama, itu adalah jawaban terbaik yang pernah saya dengar.”
Rina ikut menimpali. “Pak, saya sadar, AI memang canggih. Tapi saya nggak mau jadi orang yang cuma menyalin jawaban. Saya mau jadi orang yang ngerti kenapa jawabannya bisa begitu.”
Pak Wirya menatap mereka dengan bangga. Akhirnya, mereka mengerti.
Ia menghela napas lega. Ini bukan tentang menolak teknologi. Ini tentang memastikan manusia tetap memegang kendali.
…
Saat bel berbunyi, murid-murid keluar dengan semangat, bercanda satu sama lain. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka tidak langsung menunduk ke layar gadget.
Pak Wirya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka.
Ia tersenyum.
Hari ini, ia tidak hanya mengajar. Ia telah berhasil login ke hati murid-muridnya.