1. Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) menetapkan bahwa hak cipta diberikan kepada pencipta, yaitu individu atau kelompok yang menghasilkan karya secara langsung. Dalam konteks ini, karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tanpa campur tangan manusia tidak memenuhi syarat sebagai ciptaan yang dilindungi hak cipta. Namun, jika manusia memberikan kontribusi signifikan, seperti menyusun prompt atau melakukan kurasi, karya tersebut dapat dianggap sebagai hasil kolaborasi dan layak mendapatkan perlindungan hak cipta.
SmartLegal |
FHUI
2. Kekosongan Hukum dan Tantangan
Saat ini, belum ada regulasi khusus di Indonesia yang mengatur secara eksplisit tentang hak cipta karya yang dihasilkan oleh AI. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para kreator yang menggunakan AI dalam proses kreatif mereka.
HukumOnline
🤖 Kebijakan Penyedia Alat Generatif AI
1. ChatGPT (OpenAI)
OpenAI menyatakan bahwa pengguna memiliki hak atas konten yang dihasilkan oleh ChatGPT, termasuk gambar. Namun, pengguna tetap bertanggung jawab untuk memastikan bahwa penggunaan konten tersebut tidak melanggar hak cipta pihak ketiga.
Botpress
2. Leonardo.Ai
Leonardo.Ai memungkinkan pengguna untuk menggunakan gambar yang dihasilkan untuk keperluan komersial. Namun, mereka juga menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakan, menyalin, dan mendistribusikan konten yang dihasilkan untuk tujuan pengembangan dan promosi layanan mereka.
Leonardo FAQ
3. Bing AI Image Creator (Microsoft)
Microsoft awalnya membatasi penggunaan gambar yang dihasilkan oleh Bing AI Image Creator hanya untuk keperluan pribadi dan non-komersial. Namun, kebijakan ini telah berubah, dan saat ini pengguna dapat menggunakan gambar tersebut untuk keperluan komersial dengan risiko sendiri.
Medium
⚠️ Rekomendasi untuk Kreator
- Periksa Ketentuan Layanan: Sebelum menggunakan alat generatif AI, baca dan pahami ketentuan layanan serta kebijakan hak cipta dari penyedia layanan tersebut.
- Hindari Pelanggaran Hak Cipta: Jangan menggunakan gaya atau elemen dari karya yang dilindungi hak cipta tanpa izin. Misalnya, meniru gaya Studio Ghibli dapat menimbulkan masalah hukum.
AP News - Dokumentasikan Proses Kreatif: Simpan catatan tentang bagaimana Anda menggunakan AI dalam proses kreatif, termasuk prompt yang digunakan dan modifikasi yang dilakukan.
🌍 Bagaimana Negara-Negara Besar Mengatur Hak Cipta Gambar AI?
Dengan semakin masifnya penggunaan generative AI untuk menciptakan gambar, muncul pertanyaan penting: apakah karya tersebut memiliki perlindungan hak cipta? Berikut ini adalah ringkasan pendekatan beberapa negara besar mengenai isu ini, dilengkapi referensi terpercaya.
🇺🇸 Amerika Serikat: Wajib Ada Keterlibatan Manusia
Di Amerika Serikat, pengadilan telah menegaskan bahwa karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI tidak dapat dilindungi hak cipta, karena tidak ada “pengarang manusia.” Namun, jika ada kontribusi kreatif manusia, seperti menyusun prompt atau menyunting hasilnya, perlindungan hak cipta bisa diberikan.
Reuters |
AP News
🇬🇧 Inggris: Kompensasi Melalui Lisensi Kolektif
Pemerintah Inggris memperkenalkan skema lisensi kolektif agar penulis mendapatkan kompensasi jika karya mereka digunakan untuk melatih AI. Ini menjawab kekhawatiran atas praktik penambangan data yang dapat merugikan pemilik hak cipta.
The Guardian
🇨🇳 Tiongkok: Melindungi Karya AI yang Ada Unsur Kreatif Manusia
Pengadilan di Beijing mengakui bahwa gambar dari AI bisa mendapat hak cipta jika prosesnya melibatkan “investasi intelektual” manusia. Dalam kasus penggunaan Stable Diffusion, pengadilan mengakui kepemilikan karya karena manusia secara aktif mengarahkan hasil.
China Justice Observer
🇯🇵 Jepang: Masih dalam Tahap Diskusi
Jepang belum memiliki regulasi tegas soal hak cipta atas karya AI. Namun, diskusi publik dan hukum sedang berlangsung, terutama untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan hak seniman manusia.
🇪🇺 Uni Eropa: Transparansi Data Latih AI
Uni Eropa berfokus pada regulasi yang mewajibkan pengembang AI untuk transparan soal data latih yang digunakan. Meski belum spesifik soal hak cipta karya AI, pendekatan ini bertujuan melindungi hak pemilik data dan mendorong etika AI.
EU AI Act Proposal
🔍 Kesimpulan
Regulasi hak cipta atas karya AI terus berkembang dan berbeda di setiap negara. Amerika Serikat dan Inggris menekankan keterlibatan manusia dan kompensasi, Tiongkok lebih terbuka dengan kontribusi kreatif, sementara Uni Eropa dan Jepang menekankan etika dan transparansi. Sebagai kreator, penting untuk memahami yurisdiksi tempat Anda berkarya dan menyesuaikan strategi legal Anda.
📊 Tabel Perbandingan Regulasi Hak Cipta atas Karya AI di Berbagai Negara
Negara | Status Perlindungan Hak Cipta untuk Gambar AI | Kontribusi Manusia | Kebijakan Khusus | Referensi |
---|---|---|---|---|
Indonesia | Belum ada regulasi spesifik tentang karya AI, namun UU No. 28 Tahun 2014 menyatakan bahwa hak cipta diberikan kepada ciptaan yang dihasilkan oleh kemampuan, daya pikir, daya cipta, dan keahlian manusia. | Wajib ada kontribusi manusia yang nyata (bukan sepenuhnya oleh sistem otomatis) | Karya murni dari AI tidak termasuk dalam subjek hak cipta. Namun, jika manusia mengolah, menyunting, atau mengarahkan secara kreatif hasil AI, bisa dikategorikan sebagai ciptaan yang dilindungi. |
UU Hak Cipta 2014 (bpk.go.id) |
Amerika Serikat | Tidak dilindungi jika sepenuhnya dibuat AI | Wajib ada keterlibatan manusia | Hanya karya dengan “pengarang manusia” yang bisa dilindungi | Reuters |
Inggris | Fokus pada kompensasi, bukan larangan | Tidak wajib, tapi diatur dalam lisensi kolektif | Lisensi kolektif untuk melindungi penulis | The Guardian |
Tiongkok | Dapat dilindungi jika ada kontribusi kreatif manusia | Wajib ada investasi intelektual manusia | Putusan pengadilan mengakui hak cipta karya AI | China Justice Observer |
Jepang | Belum ada regulasi tegas | Masih dalam diskusi | Masih menimbang pendekatan terbaik | — |
Uni Eropa | Fokus pada regulasi penggunaan AI | Diatur dalam konteks transparansi | Wajib ungkap data pelatihan AI | EU AI Act |
Catatan: Interpretasi hukum di Indonesia dapat berkembang seiring dinamika teknologi dan pembaruan regulasi. Perlu ada penafsiran lanjut oleh lembaga yang berwenang seperti DJKI atau Mahkamah Agung bila terjadi sengketa.
Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.