Entropi dalam Pembelajaran dan Pelatihan: Makna dan Implikasi bagi Widyaiswara

Entropi dalam Pembelajaran dan Pelatihan: Makna dan Implikasi bagi Widyaiswara

Hari ini, Rabu 25 Juni 2025, saya merasa beruntung. Dalam proses penyusunan desain pelatihan, saya berkesempatan berbincang dengan seorang Subject Matter Expert (SME) yang bukan hanya menguasai substansi, tetapi juga memantik cara berpikir saya tentang esensi pembelajaran. Dari percakapan yang awalnya terasa ringan, muncul satu topik mendalam yang mengubah sudut pandang saya sebagai Widyaiswara: entropi.

Apa Itu Entropi dalam Konteks Pembelajaran?

Dalam ilmu fisika, entropi didefinisikan sebagai ukuran ketidakteraturan atau keacakan dalam suatu sistem (Carnot, 1824; Clausius, 1865). Namun, hari ini saya memaknai ulang entropi, bukan sebagai istilah termodinamika, tapi sebagai realitas mental peserta pelatihan: keadaan awal yang kacau, penuh asumsi, bias, dan pengetahuan yang belum terstruktur.

Peserta datang dengan beban berpikirnya masing-masing. Ada yang sudah tahu tapi ragu. Ada yang tidak tahu tapi malu bertanya. Ada pula yang tersesat dalam banjir informasi. Itulah entropi kognitif. Dan tugas kita, para pendidik, fasilitator, Widyaiswara, adalah mengelolanya.

Entropi sebagai Titik Awal Desain Pembelajaran

Menurut Illeris (2018), pembelajaran yang bermakna harus melibatkan proses kognitif, emosional, dan sosial secara bersamaan. Tapi itu semua hanya bisa terjadi jika kita menyadari bahwa peserta tidak selalu datang dalam keadaan siap.

“Learning is not starting from zero, but from disorder.”
— Interpretasi dari teori konstruktivisme Jean Piaget

Dengan menyadari ini, desain pelatihan tidak lagi berfokus pada penyampaian isi, tapi pada penyusunan ulang struktur berpikir peserta. Modul, metode, dan media harus mampu:

  • Menurunkan tingkat entropi mental
  • Menyambungkan ide-ide yang tercerai-berai
  • Menjadikan yang rumit menjadi sederhana

Peran Widyaiswara: Reduksi Entropi, Bukan Hanya Transfer Ilmu

Saya menyadari, menjadi Widyaiswara bukan berarti saya hanya ‘menyampaikan’. Saya adalah arsitek kognitif, yang bertugas menyusun ulang bangunan berpikir peserta agar lebih tertata dan kontekstual.

Dalam The Adult Learner (Knowles, Holton & Swanson, 2015), disebutkan bahwa orang dewasa belajar ketika mereka:

  1. Merasa pembelajaran itu relevan dengan masalah nyata
  2. Terlibat secara aktif dalam menyusun makna sendiri
  3. Merasa kontrol terhadap proses belajarnya

Ketiga hal ini hanya dapat terjadi jika entropi dalam diri mereka berhasil diredam oleh fasilitator yang peka dan sadar proses.

Umpan Balik, Refleksi, dan Dialog sebagai Pengendali Entropi

Satu hal penting yang saya catat dari perbincangan hari ini: tidak ada desain pelatihan yang ideal tanpa ruang untuk refleksi dan dialog. Ruang ini bukan pelengkap, tapi elemen utama untuk:

  • Mendeteksi ketidakteraturan berpikir
  • Mengajak peserta menyusun ulang pemahaman mereka sendiri
  • Memunculkan kesadaran baru

Menurut Brookfield (2017), refleksi kritis adalah jembatan untuk mentransformasi informasi menjadi kebijaksanaan.

Catatan Penutup: Menata Pikiran, Bukan Mengisi Kepala

Hari ini saya pulang dengan satu kesadaran baru:

“Mengajar bukan tentang mengisi gelas kosong, tapi menyaring air yang keruh.”

Dan dalam konteks itulah, entropi menjadi kawan yang harus dipahami, bukan musuh yang harus dihindari.

Sebagai Widyaiswara, saya berkomitmen untuk terus belajar mengelola entropi ini, agar pelatihan yang saya desain dan fasilitasi bukan sekadar rutinitas, tapi benar-benar menjadi ruang penataan ulang: pikiran yang lebih jernih, tindakan yang lebih berdampak.

Referensi:

  • Illeris, K. (2018). Contemporary Theories of Learning: Learning Theorists In Their Own Words. Routledge.
  • Knowles, M. S., Holton, E. F., & Swanson, R. A. (2015). The Adult Learner.
  • Brookfield, S. D. (2017). Becoming a Critically Reflective Teacher. Jossey-Bass.
  • Clausius, R. (1865). The Mechanical Theory of Heat.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Menemukan Arah: Catatan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Digital

Menemukan Arah: Catatan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Digital

Setiap orang, pada satu titik dalam hidupnya, pasti pernah berhenti sejenak dan bertanya: “Sebenarnya, saya sedang ke mana?”

Pertanyaan itu tidak selalu datang saat badai sedang melanda. Kadang justru hadir di tengah kenyamanan, kesibukan, atau rutinitas yang berjalan seperti biasa. Tapi ada suara kecil yang mulai mengetuk-ngetuk dinding kesadaran—tentang makna, arah, dan kebermanfaatan.

Beberapa hari terakhir, saya banyak merenung. Bukan karena sesuatu yang salah, tapi karena saya ingin segala yang saya lakukan benar-benar bernilai. Saya menelusuri ulang jejak digital, menata ulang prioritas, dan mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah semua ini membawa saya (dan orang lain) menjadi lebih baik?

Media Sosial: Panggung atau Jendela?

Media sosial memang luar biasa. Ia bisa menjadi panggung untuk menampilkan versi terbaik diri, tapi juga bisa menjadi jendela untuk saling belajar dan menginspirasi. Namun, ketika terlalu banyak waktu tercurah pada menjaga panggung, kita bisa lupa merawat ruang dalam diri.

Saya sampai pada kesadaran bahwa tidak semua hal harus dibagikan. Ada hal-hal yang lebih baik diproses dalam diam, ditumbuhkan dalam hening, lalu dipetik hasilnya dalam karya. Being productive is good—but being purposeful is better.

Dari Sibuk ke Bermakna

Refleksi ini membawa saya pada niat sederhana: kembali pada akar. Menyusun ulang aktivitas bukan hanya agar terlihat aktif, tetapi agar betul-betul berdampak. Tidak harus besar, tapi konsisten. Tidak harus viral, tapi bernilai.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, barangkali kita memang butuh ruang untuk melambat. Bukan mundur, tapi memberi diri kesempatan untuk bertumbuh secara lebih sadar.

Tiga Pertanyaan yang Sedang Saya Bawa

Sebagai catatan pembuka dalam learning journal saya kali ini, saya ingin berbagi tiga pertanyaan yang sedang saya bawa dalam proses ini:

  1. Apa yang sebenarnya ingin saya wariskan melalui pekerjaan saya?

  2. Apa yang membuat saya merasa “hidup” saat melakukannya—bukan hanya sibuk, tapi bermakna?

  3. Bagaimana saya bisa terus tumbuh tanpa kehilangan jati diri?

Barangkali ini bukan hanya pertanyaan untuk saya pribadi, tapi juga untuk siapa pun yang sedang menata ulang makna perjalanan hidup dan karya.

Setiap orang punya musimnya. Dan tak ada musim yang sia-sia. Jika sekarang adalah musim refleksi, nikmatilah ia sebagai bagian dari pertumbuhan. Karena terkadang, kita tidak butuh lebih banyak jawaban, tapi ruang untuk bertanya dengan jujur.

Selamat berefleksi, selamat tumbuh.

New title
Hubungi Indra, Klik disini!

Terima kasih sudah berkunjung ke indrapedia.com!

Sahabat Belajar

Kang Indra

Online

Kang IndraBersama Indra dari Indrapedia

Hai, ada yang bisa saya bantu? 00.00