Saya meyakinkan diri: “Ini bukan ajang pamer. Ini adalah ruang untuk menyampaikan ide dan laporan dengan tulus.”
Sebuah Kalimat Kecil di Rumah yang Menyentuh
Semalam kami bertiga berkumpul di kamar kecil, tempat favorit kami melepas lelah. Kaki saya masih terasa pegal setelah berdiri lama di dalam KRL sepulang kerja. Sambil merebahkan diri, saya mendengarkan istri yang tengah berbicara lembut kepada anak kami.
“Nak, berbicaralah seperlunya, ya. Pilih dulu kata-katamu sebelum diucapkan. Kadang, tanpa sadar, kata yang tak tepat bisa menyakiti hati temanmu.”
Saya tersenyum kecil, sambil membayangkan siang tadi anak kami pasti sedang seru-serunya bermain dan bercerita bersama teman-temannya, hingga mungkin terlalu asyik berbicara dan lupa mengukur kata. Saya terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi memukul kesadaran saya dengan lembut.
Betapa banyak dari kita yang bicara terlalu banyak, tetapi lupa memilih kata, lupa mendengarkan, lupa merasakan, dan lupa mengukur dampak dari kata-kata yang terucap.
Presentasi yang Bermakna Bukan tentang Banyaknya Kata
Seorang presenter hebat bukan yang bisa berbicara lama tanpa henti, tapi yang mampu menyampaikan pesan dengan singkat, kuat, dan tepat sasaran. Garr Reynolds dalam bukunya Presentation Zen menekankan pentingnya kesederhanaan visual dan kekuatan narasi untuk menghubungkan presenter dengan audiens (Reynolds, 2011).
Visual yang sederhana + Narasi yang bermakna = Pesan yang mengena
Dalam dunia yang penuh distraksi, kekuatan presentasi justru terletak pada kemampuan untuk memilih kata yang penting dan menahan kata yang tak perlu. Hal ini selaras dengan prinsip komunikasi dari Paul Watzlawick, seorang tokoh komunikasi dunia, yang menyatakan bahwa “You cannot not communicate.” Bahkan ketika kita diam, kita tetap mengirim pesan (Watzlawick et al., 1967).
Maka dari itu,
Pilihan kata bukan soal estetika, tapi soal tanggung jawab.
Kata-Kata yang Membangun, Bukan Menyakiti
Kembali ke percakapan istri saya dengan anak kami, saya menyadari satu hal penting: kata-kata bisa menjadi jembatan, tapi juga bisa menjadi jurang.
Dalam komunikasi interpersonal, seperti dijelaskan oleh Carl Rogers dalam teorinya tentang komunikasi empatik, “Understanding another person’s experience without making them feel judged is the foundation of good communication.” (Rogers, 1961).
Jika kata-kata dalam presentasi kita bisa membangun empati, bukan hanya menyampaikan isi, maka kita telah menjadi lebih dari sekadar komunikator—kita menjadi manusia yang utuh.
Mengapa Kita Perlu Belajar Menahan Bicara?
- Agar audien merasa dihargai.
Kita bukan pusat perhatian—pesan kita adalah pusat perhatian audien - Agar kita menyampaikan hal yang benar-benar penting.
Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.” (Einstein) - Agar kata-kata kita tidak menyakiti tanpa sengaja.
Kadang kita terlalu ingin terlihat pintar, sampai lupa bahwa audien kita punya luka, trauma, atau keterbatasannya sendiri
Mengakhiri dengan Kesadaran Baru
Mulai Pagi ini, saya memperkuat keyakinan untuk selalu memperbaiki slide dan narasi presentasi saya, serta memperbaiki niat dan pilihan kata. Saya mulai bertanya pada diri sendiri:
“Apakah kata-kataku akan menolong mereka memahami, atau hanya memperbesar egoku?”
“Apakah aku memberi ruang untuk audiens berpikir, atau aku menjejalkan semua yang aku tahu dalam satu waktu?”
“Apakah aku menyampaikan dengan hati?”
Mengajak Anda Merenung
Mungkin kita tidak selalu bisa menjadi presenter yang sempurna. Tapi kita selalu bisa menjadi presenter yang peduli. Yang berbicara secukupnya, dengan hati yang penuh.
Karena sesungguhnya, presentasi terbaik bukan yang membuat audien kagum, tapi yang membuat mereka pulang dengan pemahaman baru, semangat baru, dan tidak merasa direndahkan sedikit pun.
“Jangan terlalu banyak bicara… bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu bahwa setiap kata punya dampak.”
Mari belajar dari anak-anak, belajar dari rumah, belajar dari diam yang bermakna. Mari terus belajar menjadi manusia yang menyampaikan kebenaran dengan baik, dengan bijak, dan dengan kasih.
Awali setiap presentasi dengan menutup mata, menarik nafas seraya berdoa agar pikiran dan lidah kita memberikan manfaat
Referensi:
- Siti Kurnia Rohayati, Bidadari dan Istri Tercinta
- Reynolds, G. (2011). Presentation Zen: Simple Ideas on Presentation Design and Delivery. New Riders. Link
- Rogers, C. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Houghton Mifflin Harcourt. Link
- Watzlawick, P., Beavin, J. H., & Jackson, D. D. (1967). Pragmatics of Human Communication. W. W. Norton. Link
- Einstein, A. (Quote attributed). Quote Investigator
Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.