Apa Itu Entropi dalam Konteks Pembelajaran?
Dalam ilmu fisika, entropi didefinisikan sebagai ukuran ketidakteraturan atau keacakan dalam suatu sistem (Carnot, 1824; Clausius, 1865). Namun, hari ini saya memaknai ulang entropi, bukan sebagai istilah termodinamika, tapi sebagai realitas mental peserta pelatihan: keadaan awal yang kacau, penuh asumsi, bias, dan pengetahuan yang belum terstruktur.
Peserta datang dengan beban berpikirnya masing-masing. Ada yang sudah tahu tapi ragu. Ada yang tidak tahu tapi malu bertanya. Ada pula yang tersesat dalam banjir informasi. Itulah entropi kognitif. Dan tugas kita, para pendidik, fasilitator, Widyaiswara, adalah mengelolanya.
Entropi sebagai Titik Awal Desain Pembelajaran
Menurut Illeris (2018), pembelajaran yang bermakna harus melibatkan proses kognitif, emosional, dan sosial secara bersamaan. Tapi itu semua hanya bisa terjadi jika kita menyadari bahwa peserta tidak selalu datang dalam keadaan siap.
“Learning is not starting from zero, but from disorder.”
— Interpretasi dari teori konstruktivisme Jean Piaget
Dengan menyadari ini, desain pelatihan tidak lagi berfokus pada penyampaian isi, tapi pada penyusunan ulang struktur berpikir peserta. Modul, metode, dan media harus mampu:
- Menurunkan tingkat entropi mental
- Menyambungkan ide-ide yang tercerai-berai
- Menjadikan yang rumit menjadi sederhana
Peran Widyaiswara: Reduksi Entropi, Bukan Hanya Transfer Ilmu
Saya menyadari, menjadi Widyaiswara bukan berarti saya hanya ‘menyampaikan’. Saya adalah arsitek kognitif, yang bertugas menyusun ulang bangunan berpikir peserta agar lebih tertata dan kontekstual.
Dalam The Adult Learner (Knowles, Holton & Swanson, 2015), disebutkan bahwa orang dewasa belajar ketika mereka:
- Merasa pembelajaran itu relevan dengan masalah nyata
- Terlibat secara aktif dalam menyusun makna sendiri
- Merasa kontrol terhadap proses belajarnya
Ketiga hal ini hanya dapat terjadi jika entropi dalam diri mereka berhasil diredam oleh fasilitator yang peka dan sadar proses.
Umpan Balik, Refleksi, dan Dialog sebagai Pengendali Entropi
Satu hal penting yang saya catat dari perbincangan hari ini: tidak ada desain pelatihan yang ideal tanpa ruang untuk refleksi dan dialog. Ruang ini bukan pelengkap, tapi elemen utama untuk:
- Mendeteksi ketidakteraturan berpikir
- Mengajak peserta menyusun ulang pemahaman mereka sendiri
- Memunculkan kesadaran baru
Menurut Brookfield (2017), refleksi kritis adalah jembatan untuk mentransformasi informasi menjadi kebijaksanaan.
Catatan Penutup: Menata Pikiran, Bukan Mengisi Kepala
Hari ini saya pulang dengan satu kesadaran baru:
“Mengajar bukan tentang mengisi gelas kosong, tapi menyaring air yang keruh.”
Dan dalam konteks itulah, entropi menjadi kawan yang harus dipahami, bukan musuh yang harus dihindari.
Sebagai Widyaiswara, saya berkomitmen untuk terus belajar mengelola entropi ini, agar pelatihan yang saya desain dan fasilitasi bukan sekadar rutinitas, tapi benar-benar menjadi ruang penataan ulang: pikiran yang lebih jernih, tindakan yang lebih berdampak.
Referensi:
- Illeris, K. (2018). Contemporary Theories of Learning: Learning Theorists In Their Own Words. Routledge.
- Knowles, M. S., Holton, E. F., & Swanson, R. A. (2015). The Adult Learner.
- Brookfield, S. D. (2017). Becoming a Critically Reflective Teacher. Jossey-Bass.
- Clausius, R. (1865). The Mechanical Theory of Heat.
Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.