Etika dan Regulasi Kecerdasan Buatan di Indonesia: Implikasi bagi Pengembangan Kompetensi dan Peran Widyaiswara

Etika dan Regulasi Kecerdasan Buatan di Indonesia: Implikasi bagi Pengembangan Kompetensi dan Peran Widyaiswara

Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menghadirkan peluang signifikan untuk peningkatan layanan publik dan kualitas pelatihan. Namun tanpa pedoman etika dan regulasi yang memadai, AI menimbulkan risiko privasi, bias, dan ketidakadilan. Catatan ini merangkum kondisi regulasi dan pedoman etika AI di Indonesia hingga 2025, menelaah tantangan utama, serta mengemukakan rekomendasi praktis khususnya terkait pengembangan kompetensi (pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi). Peran Widyaiswara diidentifikasi sebagai kunci untuk internalisasi etika AI dalam program diklat dan peningkatan kapabilitas ASN.

AI telah diadopsi di banyak sektor: pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan keuangan. Di Indonesia, landasan hukum khusus AI masih berkembang; sebagian besar pedoman saat ini berbentuk Surat Edaran, pedoman sektoral, dan peraturan terkait sistem elektronik. Untuk memastikan penerapan AI yang bertanggung jawab, pengembangan kompetensi dan literasi AI bagi tenaga pendidik dan pelatih menjadi penting.

Regulasi & Pedoman Etika AI

Surat Edaran Menkominfo No. 9 Tahun 2023

Surat Edaran ini menjadi pijakan etika nasional awal untuk penggunaan AI di Indonesia, memuat prinsip-prinsip seperti inklusivitas, transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan data pribadi. Perlu dicatat SE bersifat soft regulation (pedoman administratif), sehingga tidak selalu disertai sanksi pidana administratif yang spesifik.

Tautan resmi SE Menkominfo: jdih.komdigi.go.id — SE Menkominfo No. 9/2023

Regulasi Sektoral (Contoh: OJK)

Di sektor keuangan, OJK telah menerbitkan panduan etika AI untuk fintech dan pedoman tata kelola AI perbankan, yang menyediakan contoh implementasi operasional tata kelola AI di sektor terspesialisasi.

Tautan OJK: ojk.go.id — Panduan Kode Etik AI (Fintech)

Tantangan & Kesenjangan

  • Kekuatan hukum terbatas: SE bersifat pedoman dan belum memberikan kepastian sanksi.
  • Fragmentasi regulasi: Aturan tersebar di UU ITE, peraturan sistem elektronik, regulasi sektoral, dan regulasi data pribadi.
  • Keterbatasan kapasitas: Literasi dan kemampuan teknis untuk audit AI belum merata di lembaga publik dan penyelenggara diklat.
  • Kurangnya audit transparan: Model AI sering bersifat kotak hitam sehingga sulit dievaluasi dampak sosialnya.

Implikasi bagi Pengembangan Kompetensi dan Peran Widyaiswara

Pengembangan kompetensi di era AI harus memadukan aspek teknis dan etika. Widyaiswara memainkan peran penting sebagai fasilitator, penerjemah kebijakan, dan evaluator program. Berikut poin praktis yang dapat diadopsi di lembaga diklat:

  1. Penyusunan modul integratif: Modul diklat harus menggabungkan pengantar AI, risiko bias, privasi data, serta ketentuan regulasi relevan.
  2. Pelatihan Widyaiswara (train-the-trainer): Program sertifikasi untuk Widyaiswara agar memahami aspek teknis dan etika AI.
  3. Skema sertifikasi kompetensi: Sertifikasi yang menguji kompetensi teknis sekaligus kepatuhan etika/regulasi.
  4. Audit internal & studi kasus: Latihan audit algoritma sederhana dan penyusunan studi kasus lokal sebagai bahan praktik.

Contoh peran konkret: ketika sebuah unit pemerintah ingin menerapkan sistem AI untuk seleksi administratif, Widyaiswara dapat memfasilitasi lokakarya audit risiko, menyusun daftar cek kepatuhan regulasi, serta merancang modul pelatihan bagi staf terkait.

Rekomendasi Strategis

  • Merumuskan RUU/peraturan pemerintah khusus AI dengan mekanisme sanksi dan audit.
  • Integrasikan modul etika AI ke seluruh program diklat ASN dan pelatihan profesional.
  • Menyelenggarakan pelatihan nasional Widyaiswara AI Etis (program train-the-trainer).
  • Membangun lembaga audit algoritma independen dan mekanisme pengaduan publik.
  • Mengadakan evaluasi kebijakan berkala (2–3 tahun) untuk menyesuaikan perkembangan teknologi.

Referensi Utama

  1. Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 — Etika Kecerdasan Artifisial. jdih.komdigi.go.id
  2. OJK — Panduan Kode Etik Kecerdasan Buatan AI yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya di Industri Teknologi Finansial. ojk.go.id
  3. OJK — Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia. ojk.go.id

Disclaimer:
Tulisan ini disusun berdasarkan hasil pembelajaran dan refleksi penulis, dengan bantuan teknologi AI sebagai co-creator untuk memperjelas ide dan mempercepat proses penulisan. Seluruh isi tetap menjadi tanggung jawab penulis

Ditulis dengan ❤️ oleh Indra Riswadinata di Bogor

Ketika Damai Bukan Lagi Soal Harta: Seni Merasa Cukup di Era Digital

Ketika Damai Bukan Lagi Soal Harta: Seni Merasa Cukup di Era Digital

Apakah kebahagiaan kita diukur dari jumlah like atau dari ketenangan yang ada di dada?

Pagi ini saya teringat bahwa ketenangan batin , merasa cukup dan damai  adalah target yang lebih mulia daripada pencapaian yang membuat lelah.
Keyakinan bahwa rezeki dan jalan hidup ditetapkan Allah memberi saya alasan untuk menenangkan langkah, bukan mempercepatnya.

Mengapa kita merasa tidak tenang dan selalu kurang?

Saya menyadari beberapa sumber kegelisahan itu bukan hanya kebiasaan pribadi, tetapi dipicu oleh cara kita hidup hari-hari ini:

  • Asumsi pribadi yang keliru, menganggap kebahagiaan setara dengan kepemilikan atau pencapaian.
  • Prasangka dan penilaian, mudah mengambil kesimpulan bahwa hidup orang lain ‘lebih enak’ tanpa tahu prosesnya.
  • Membandingkan diri lewat media sosial, tampilan ‘sukses’ orang lain di feed memicu perbandingan naik-turun yang membuat hati gelisah.
  • Ingin serba cepat (instan), harapan hasil langsung membuat kita tidak sabar menikmati proses.
  • Kurang bersyukur , perhatian tertuju pada kekurangan, bukan nikmat sederhana yang ada.

Bukti riset menunjukkan hubungan antara penggunaan media sosial yang tinggi dengan rasa keterasingan sosial dan kecenderungan merasa terisolasi.
Sumber: PubMed, PMC

Mungkin kita pernah scrolling IG di pagi hari, melihat foto teman berlibur, lalu semalaman tidur gelisah, padahal keesokan harinya kita punya waktu berkualitas untuk keluarga yang sebenarnya kita hargai.

Organisasi kesehatan dan lembaga penelitian menyarankan kehati-hatian karena paparan konten idealisasi di media sosial dapat mengubah cara pandang terhadap kehidupan orang lain dan diri sendiri.
Sumber: American Psychological Association

Refleksi Perilaku Nyata Sehari-hari

Ketenangan bukanlah hasil dari hal-hal besar, melainkan dari kebiasaan kecil yang konsisten. Setiap malam, ketika kita menuliskan tiga hal sederhana yang patut disyukuri seperti secangkir teh hangat, tawa keluarga, atau tugas yang terselesaikan hati kita terasa lebih ringan. Kebiasaan ini mengingatkan kita bahwa nikmat Allah hadir dalam bentuk yang sering kali terlewatkan.

Saat rasa iri muncul, kita bisa berhenti sejenak, menarik napas dalam, menahannya, lalu melepas perlahan sembari berucap “Alhamdulillah”. Latihan napas sederhana ini menjadi pengingat bahwa hati dapat dikendalikan dengan kesadaran, bukan dibiarkan hanyut oleh emosi. Kita pun dapat membatasi waktu bersama media sosial: notifikasi dimatikan, dan aplikasi hanya dibuka di waktu yang telah kita tentukan. Dengan cara ini, kita lebih mampu menjaga fokus dan tidak terjebak dalam arus informasi yang tak pernah berhenti.

Lebih jauh, bijaklah dalam mengonsumsi konten. Alih-alih mengikuti akun yang memicu rasa iri, mari memilih akun yang menghadirkan inspirasi sederhana: doa, ilmu, atau kisah kebaikan. Perubahan kecil dalam pilihan tontonan ini mampu membawa pengaruh besar pada ketenangan hati kita.

Refleksi Reframing Kognitif & Keyakinan

Sering kali, saat melihat pencapaian orang lain, pikiran kita terbawa pada kesimpulan yang keliru: seolah-olah hidup mereka jauh lebih indah. Namun kita perlu mengingatkan diri bahwa apa yang ditampilkan di layar hanyalah potongan momen terbaik, bukan keseluruhan perjuangan. Mereka mungkin memperlihatkan hasil, tetapi kita tidak melihat proses panjang penuh air mata dan kerja keras di baliknya.

Yang lebih penting, kita harus kembali pada keyakinan dasar: rezeki setiap orang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Tugas kita hanyalah berusaha dengan sungguh-sungguh, sementara hasilnya berada di tangan-Nya. Keyakinan ini menenangkan kita, karena hidup bukanlah kompetisi dengan orang lain, melainkan perjalanan pribadi yang diatur dengan penuh hikmah.

Refleksi Strategi Digital Berbasis Bukti

Ada pula strategi sederhana untuk mengendalikan diri secara digital. Misalnya, kita bisa mengambil jeda 24 jam tanpa media sosial sekali seminggu. Awalnya mungkin terasa sulit, seolah ada yang hilang. Namun, setelah dijalani, justru muncul rasa lega dan ruang baru untuk berfokus pada hal-hal nyata: membaca, menulis, atau sekadar bercakap dengan keluarga.

Selain itu, kita dapat lebih selektif dalam mengatur tampilan feed. Akun-akun yang membuat kita mudah membandingkan diri, bisa kita mute atau sembunyikan. Studi dari PMC menunjukkan bahwa intervensi sederhana seperti ini efektif mengurangi dampak negatif perbandingan sosial. Dan manfaatnya nyata: rasa cemas berkurang, pikiran lebih jernih, serta perhatian kita kembali pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.

Buah dari Hati yang Tenang dan Merasa Cukup

Ketika kita mampu menjaga ketenangan dan merasa cukup, hati terasa lega karena tidak lagi dibebani oleh ambisi-ambisi murahan yang sering kali hanya melelahkan. Hubungan dengan orang lain pun menjadi lebih hangat, karena kita hadir dengan hati yang tulus, bukan dengan rasa iri atau ingin dibandingkan. Produktivitas pun lebih stabil, sebab energi kita tercurah pada proses dan bukan pada kecemasan akan hasil. Pada akhirnya, seluruh perjalanan hidup menjadi lebih bermakna: setiap tindakan sederhana berubah menjadi wujud syukur dan ibadah, yang membuat kita sadar bahwa damai dan cukup adalah bentuk kebahagiaan sejati yang Allah anugerahkan

Tips Praktis Mengendalikan Perbandingan di Media Sosial

  • Atur batas waktu: gunakan timer aplikasi.
  • Kurasi feed tiap minggu.
  • Jurnal perbandingan terbalik: tulis pelajaran & nikmat Anda.
  • Ritual pagi tanpa layar (60 menit pertama).
  • Terapkan “cek kebenaran” kognitif: tanyakan pada diri, “Apakah saya melihat gambaran lengkap?”
  • Praktik gratitude sharing dengan keluarga/teman.

Rangkuman SIMASBEN

Signifikansi: Ketenangan hati lebih bernilai daripada pujian publik.

Masalah: Perbandingan sosial diperkuat media sosial membuat kita merasa kurang. (PubMed)

Solusi: Latihan syukur, batas digital, reframing kognitif, intervensi perilaku. (PMC)

Benefit: Hati tentram, hidup jadi ibadah, hubungan lebih bermakna.

 

 Sumber utama (baca singkat / untuk referensi lebih lanjut)

Disclaimer:

Tulisan ini disusun berdasarkan hasil pembelajaran dan refleksi penulis, dengan bantuan teknologi AI sebagai co-creator untuk memperjelas ide dan mempercepat proses penulisan. Seluruh isi tetap menjadi tanggung jawab penulis. Penulis sempat memilih untuk tidak terhubung dengan media sosial (Facebook, Instagram, TikTok) selama beberapa bulan sebagai bagian dari proses refleksi, lalu melakukan logout penuh dan kembali login dengan mindset yang berbeda, memegang kendali positif atas media sosial, bukan dikendalikan olehnya. Dengan sikap ini, media sosial kembali dimanfaatkan sebagai sarana yang bermanfaat: memperkuat hubungan sosial, berbagi kebaikan, memperluas wawasan, serta mendukung penguatan personal branding secara sehat dan autentik.

Ditulis dengan ❤️ oleh Indra Riswadinata di Bandung

 

Melatih Logika, Menyusun Ide, dan Merancang Presentasi dengan SIMASBEN-Framework

Melatih Logika, Menyusun Ide, dan Merancang Presentasi dengan SIMASBEN-Framework

Pernahkah Anda merasa punya ide bagus, tetapi bingung bagaimana cara menyampaikannya agar jelas, singkat, dan meyakinkan?

Banyak orang mengalami hal ini, baik di ruang rapat, forum akademik, maupun saat presentasi di depan publik. Ide hebat bisa kehilangan makna jika tidak tersusun rapi. Karena itulah kita membutuhkan alur berpikir yang sederhana namun efektif. Salah satunya adalah Framework SIMASBEN, sebuah cara berpikir yang membawa kita dari nilai sebuah topik, menemukan peluang perbaikan, menawarkan jalan keluar, hingga menutup dengan manfaat nyata.

Tantangan utama dalam komunikasi sering bukan pada isi, tetapi pada alur penyampaian.

  • Kadang kita memulai dengan data yang terlalu banyak sehingga audiens kehilangan fokus.
  • Ada juga yang langsung menawarkan solusi tanpa menjelaskan konteksnya.
  • Bahkan, sebagian orang menutup presentasi tanpa memberikan alasan mengapa audiens harus peduli.

Jika kita lihat lebih dalam, tantangan ini muncul dalam tiga aspek:

  1. Dalam melatih logika: Banyak orang berpikir tidak terstruktur. Ide yang ada di kepala melompat-lompat, sulit disusun runut sehingga sulit dipahami orang lain.

  2. Dalam menyusun ide: Tantangan terbesar adalah memilah mana gagasan inti dan mana pendukung. Akibatnya, ide bercampur sehingga tidak fokus.

  3. Dalam merancang presentasi: Hambatan muncul ketika bahan yang sudah ada sulit dirangkai menjadi alur cerita yang mengalir. Akhirnya, slide hanya jadi tumpukan poin tanpa arah.

Masalah-masalah ini sebenarnya adalah peluang untuk berlatih mengatur cara berpikir, agar lebih jernih, fokus, dan komunikatif.

Framework SIMASBEN hadir sebagai alat bantu sederhana untuk melatih cara berpikir sistematis dan komunikatif. Begini alurnya:

  1. Signifikansi, Mulai dengan menunjukkan nilai atau kebermaknaan topik. Bangun rasa “ini penting bagi saya”. Bisa berupa data, fakta, kisah, atau pertanyaan yang membangkitkan rasa ingin tahu. Intinya membangun urgensi dan relevansi.

  2. Masalah, Arahkan perhatian pada peluang perbaikan atau ruang pengembangan. Intinya menunjukkan adanya kesenjangan antara kondisi ideal dan kenyataan

  3. Solusi , Tawarkan strategi, pendekatan, atau ide yang memberdayakan.  Intinya menyodorkan jalan keluar yang jelas, praktis, dan bisa diterapkan

  4. Benefit , Tutup dengan manfaat positif, hasil nyata, atau dampak jangka panjang. Intinya menutup dengan nilai tambah yang menguatkan

Penerapannya:

  • Untuk melatih logika, SIMASBEN melatih kita berpikir berurutan: dari “apa nilai topik ini” – “di mana letak peluang perbaikan” – “bagaimana cara mengatasinya” – “apa dampak positifnya”.

  • Untuk menyusun ide, framework ini membantu menaruh gagasan di tempat yang tepat, sehingga jelas mana latar belakang, masalah inti, solusi, dan hasil yang diharapkan.

  • Untuk merancang presentasi, SIMASBEN menjadi kerangka visual yang membuat materi mengalir alami, dari pembuka yang menggugah hingga penutup yang meyakinkan.

Manfaat utama dari penggunaan SIMASBEN adalah terciptanya alur berpikir yang jelas, komunikasi yang lebih efektif, dan ide yang lebih mudah dipahami audiens.
Lebih jauh, framework ini memberi dampak pada tiga ranah penting:

  • Bagi individu: menumbuhkan rasa percaya diri karena mampu berpikir dan berbicara dengan runut.
  • Bagi ide: membuat gagasan yang awalnya rumit menjadi sederhana, terarah, dan bernilai untuk ditindaklanjuti.
  • Bagi audiens/organisasi: menghadirkan pengalaman mendengar yang lebih menyenangkan, sehingga peluang ide diterima dan diimplementasikan lebih besar.

Dengan SIMASBEN, kita tidak hanya belajar menyusun kalimat, tetapi juga mengubah pola pikir dari sekadar menyampaikan informasi, menjadi menghadirkan makna, solusi, dan dampak positif.

Dari tulisan ini apakah Anda merasakan Framework SIMASBEN? silakan gulir lagi ke atas, mana bagian signifikan, masalah, solusi dan benefitnya.

Disclaimer:

Tulisan ini ini disusun berdasarkan hasil pembelajaran dan refleksi penulis, dengan bantuan teknologi AI sebagai co-creator untuk memperjelas ide dan mempercepat proses penulisan. Seluruh isi tetap menjadi tanggung jawab penulis

Ditulis dengan ❤️ oleh Indra Riswadinata di Bogor

“Civil Effect” dalam Program Manajemen Talenta Riset dan Inovasi

“Civil Effect” dalam Program Manajemen Talenta Riset dan Inovasi

#Learning Journal

Kemarin, kami berkesempatan belajar bersama dengan Dr. Uwes Anis Chaeruman, M.Pd. seorang akademisi dan pakar di bidang Kurikulum dan Teknologi Pendidikan dengan pengalaman lebih dari dua dekade dalam pengembangan pembelajaran berbasis teknologi. Kami mendapatkan insight tentang pentingnya civil effect dalam program pengembangan kompetensi (pelatihan). Civil effect bukan hanya soal pencantuman gelar akademik, tetapi juga menyangkut bagaimana pengakuan formal terhadap pendidikan atau pelatihan memengaruhi motivasi, legitimasi, dan kebutuhan profesional seorang individu. Dari penelitian “6 Lessons Learned from Implementation of SPADA Indonesia for Pre-service Teachers Professional Education”, beliau menekankan bahwa “civil effect is matter”. Artinya, ketika ada pengakuan formal, peserta melihat pelatihan bukan lagi sebagai beban, melainkan sebagai kebutuhan yang relevan bagi kariernya.

Kami merefleksikan pemikiran ini dalam konteks perancangan Pelatihan Mandiri Pengantar Magang di BRIN dalam upaya mendukung Program Manajemen Talenta Riset dan Inovasi. Program ini dirancang pemerintah untuk menemukan, membina, dan mengembangkan talenta terbaik bangsa agar mampu berkontribusi pada riset strategis nasional. Salah satu tantangan dalam program ini adalah bagaimana memastikan peserta bukan hanya mendapatkan pengalaman belajar, tetapi juga memiliki rekam jejak kompetensi yang diakui secara resmi. Pelatihan ini bertujuan membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan dasar sebelum mereka terjun dalam kegiatan magang riset. Hasil belajar dari pelatihan ini adalah peserta mampu:

  1. Menjelaskan pentingnya membangun komitmen belajar dengan benar.
  2. Menjelaskan nilai, visi, misi, dan struktur BRIN dengan benar.
  3. Menjelaskan research integrity dengan tepat.
  4. Menjelaskan jurnal ilmiah dan manajemen referensi dengan benar.
  5. Menjelaskan tim efektif riset dengan tepat.
  6. Menjelaskan teknik presentasi ilmiah dengan tepat

Dalam konteks program magang riset di BRIN, sejumlah pembimbing menegaskan pentingnya standar kelulusan dari pelatihan pengantar magang. Hal ini bukan sekadar soal sertifikat, melainkan bentuk nyata implementasi civil effect yaitu bagaimana pengakuan formal terhadap hasil belajar dari pelatihan menjadi dasar validasi kesiapan mahasiswa sebelum masuk ke laboratorium riset. Dengan demikian, civil effect memberikan landasan konseptual bahwa pelatihan bukan hanya proses belajar, tetapi juga instrumen strategis dalam manajemen talenta riset di Indonesia.

Jika dikaitkan dengan teori Situated Learning (Lave & Wenger, 1991), pelatihan ini membentuk sebuah komunitas praktik awal yang menjadi pintu masuk mahasiswa ke dunia periset. Melalui komunitas tersebut, pengalaman belajar yang mereka peroleh tidak hanya bernilai secara sosial, tetapi juga memiliki pengakuan formal yang penting bagi pengembangan karier

Akhirnya, kami belajar bahwa civil effect dapat memperkuat integrasi antara pengembangan kompetensi individu dan strategi nasional. Kami merefleksikan kembali bahwa tanpa civil effect, banyak pelatihan berisiko hanya menjadi rutinitas administratif tanpa dampak signifikan pada karier maupun kualitas riset.

Referensi:

Disclaimer:

Tulisan learning journal ini disusun berdasarkan hasil pembelajaran dan refleksi penulis, dengan bantuan teknologi AI sebagai co-creator untuk memperjelas ide dan mempercepat proses penulisan. Seluruh isi tetap menjadi tanggung jawab penulis

Ditulis dengan ❤️ oleh Indra Riswadinata di Bogor, 19 September 2025.

Scroll TikTok, Ketemu Struktur Bicara yang Bikin Fokus, SIMASBEN Jadi Kuncinya

Scroll TikTok, Ketemu Struktur Bicara yang Bikin Fokus, SIMASBEN Jadi Kuncinya

Sore itu, angin Bojonggede cukup ramah. Saya duduk di teras sambil menikmati teh hangat dan rutinitas akhir pekan: scroll TikTok 😍🤩😎.   Saya butuh rehat sejenak dari materi pelatihan dan draft modul yang menumpuk.

Tiba-tiba muncullah satu postingan dari akun edukatif: @logika-filsuf. Judulnya catchy banget:

“5 Struktur Bicara yang Bikin Orang Fokus (dan Gak Scroll HP Saat Kamu Ngomong)”

Sebagai seorang pengajar dan trainer, Saya langsung berhenti scrolling. Kenapa? Karena saya tahu tantangan terbesar saat ini bukan cuma isi pesan, tapi bagaimana menyampaikannya dengan cepat, jelas, dan bikin orang benar-benar mendengarkan.

📌 Isi TikTok @logika-filsuf

Di post tersebut, disampaikan ada 5 struktur komunikasi singkat yang powerful:

  1. Masalah – Dampak – Solusi
  2. Dulu – Sekarang – Nanti
  3. Fakta – Cerita – Pertanyaan
  4. 3 Poin Inti
  5. Tarik – Tahan – Tembak

Yang menarik, kelimanya bisa digunakan untuk presentasi, ngobrol, atau pitching ide. Tapi aku merasa ada satu yang kurang. Yaitu struktur yang aku kembangkan sejak 2015 dan sering ajarkan dalam pelatihan ASN dan pendidik, terutama dalam Teknik Presentasi Ilmiah: SIMASBEN.

✨ Struktur Ke-6 dari Pengalaman Lapangan

SIMASBEN adalah singkatan dari: Signifikansi – Masalah – Solusi – Benefit. Struktur ini membantu menyampaikan ide atau kebijakan secara cepat namun berdampak. Dibuka dengan Signifikansi (fakta, kutipan, atau pertanyaan retoris), dilanjutkan dengan Masalah, lalu Solusi, dan ditutup dengan Benefit langsung bagi audiens.

🔍 Bahas Satu per Satu yuk…

    • Masalah – Dampak – Solusi – Fokus pada urgensi.
      ✅ Emosional dan membangkitkan empati
      ❌ Bisa membuat audiens stres jika tidak diberi harapan.
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Banyak warga mengeluhkan lamanya proses birokrasi. Akibatnya, kepercayaan pada lembaga publik menurun. Solusinya adalah digitalisasi layanan yang memangkas waktu tunggu secara signifikan.”
      🔗 Nancy Duarte – Resonate

 

    • Dulu – Sekarang – Nanti – Narasi perubahan dari masa ke masa.
      ✅ Cocok untuk kampanye atau visi organisasi
      ❌ Kurang relevan jika audiens tak punya konteks sejarah
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Dulu, masyarakat harus datang langsung ke kantor untuk mengurus dokumen. Sekarang, kita sudah mulai mengadopsi layanan digital. Nanti, seluruh pelayanan akan bisa dilakukan dari rumah melalui satu portal terpadu.”
      🔗 Simon Sinek – Start With Why

 

    • Fakta – Cerita – Pertanyaan – Gabungkan logika, emosi, dan refleksi.
      ✅ Menarik dan partisipatif
      ❌ Butuh latihan membangun cerita yang tepat
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “97% layanan administratif bisa diproses secara daring. Saya pernah membantu seorang ibu di desa yang kini bisa cetak KIA anaknya tanpa harus pergi ke kota. Apa yang bisa kita lakukan agar semua layanan bisa semudah itu?”
      🔗 Chip & Dan Heath – Made to Stick

 

    • 3 Poin Inti – Gaya klasik public speaking.
      ✅ Ringkas dan mudah diingat
      ❌ Kurang menggugah secara emosional
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Layanan ASN yang berkualitas itu: cepat, transparan, dan empatik.”
      🔗 Dale Carnegie – The Art of Public Speaking

 

    • Tarik – Tahan – Tembak – Teknik komunikasi dari dunia negosiasi.
      ✅ Dramatis dan persuasif
      ❌ Terasa agresif jika tak tepat digunakan
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Pernah merasa frustrasi saat harus antre berjam-jam untuk layanan sederhana? Bayangkan kalau semua itu bisa selesai dalam 5 menit. Inilah saatnya kita ubah pelayanan ASN lewat sistem digital berbasis AI.”
      🔗 Chris Voss – Never Split The Difference

 

  • SIMASBEN – Struktur praktis untuk ASN dan pendidik.
    ✅ Terstruktur dan komunikatif
    ❌ Perlu latihan awal
    🗣️ Contoh Kalimat :
    “Tahukah Anda bahwa 80% pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelayanan lambat dari ASN? Ini menunjukkan masih adanya gap antara ekspektasi publik dan sistem kerja kita. Karena itu, kami kembangkan sistem pelayanan satu pintu digital berbasis kebutuhan warga. Hasilnya, waktu pelayanan turun hingga 60% dan kepuasan masyarakat meningkat tajam.”
    🔗 IndraPedia.com – SIMASBEN

 

📊 Tabel Perbandingan 6 Struktur Komunikasi

Struktur Fokus Utama Kelebihan Kelemahan Cocok Untuk
Masalah–Dampak–Solusi Urgensi dan respon Emosional, visual, cepat memicu aksi Terlalu berat jika tanpa harapan Kampanye, advokasi, presentasi publik
Dulu–Sekarang–Nanti Perubahan dan visi Naratif, cocok untuk transformasi Kurang cocok jika tanpa konteks sejarah Perubahan organisasi, pidato inspiratif
Fakta–Cerita–Pertanyaan Logika & emosi Interaktif, reflektif Butuh penguasaan narasi Diskusi, workshop, pelatihan
3 Poin Inti Struktur ringkas Mudah diingat Kurang emosional Pidato, briefing cepat
Tarik–Tahan–Tembak Persuasi & tensi Negosiasi yang menggugah Kurang cocok untuk konteks formal Negosiasi, pitching
SIMASBEN Keseimbangan naratif-logika Struktural, aplikatif untuk ASN/Pendidik Butuh latihan awal, membedakan SI dan MA Presentasi kebijakan, pelatihan

 

🧠 Refleksi Pribadi

Setiap struktur punya konteksnya. Tapi untuk dunia ASN, pelatihan, dan pendidikan yang menuntut komunikasi strategis dan berdampak, SIMASBEN adalah struktur yang paling stabil, mudah dipelajari, dan fleksibel diterapkan.

🚀 Tantangan untuk Minggu Ini

“Coba ucapkan satu ide penting Anda menggunakan salah satu dari 6 struktur di atas. Rekam, lalu bandingkan: mana yang paling menggugah?”

 

Entropi dalam Pembelajaran dan Pelatihan: Makna dan Implikasi bagi Widyaiswara

Entropi dalam Pembelajaran dan Pelatihan: Makna dan Implikasi bagi Widyaiswara

Hari ini, Rabu 25 Juni 2025, saya merasa beruntung. Dalam proses penyusunan desain pelatihan, saya berkesempatan berbincang dengan seorang Subject Matter Expert (SME) yang bukan hanya menguasai substansi, tetapi juga memantik cara berpikir saya tentang esensi pembelajaran. Dari percakapan yang awalnya terasa ringan, muncul satu topik mendalam yang mengubah sudut pandang saya sebagai Widyaiswara: entropi.

Apa Itu Entropi dalam Konteks Pembelajaran?

Dalam ilmu fisika, entropi didefinisikan sebagai ukuran ketidakteraturan atau keacakan dalam suatu sistem (Carnot, 1824; Clausius, 1865). Namun, hari ini saya memaknai ulang entropi, bukan sebagai istilah termodinamika, tapi sebagai realitas mental peserta pelatihan: keadaan awal yang kacau, penuh asumsi, bias, dan pengetahuan yang belum terstruktur.

Peserta datang dengan beban berpikirnya masing-masing. Ada yang sudah tahu tapi ragu. Ada yang tidak tahu tapi malu bertanya. Ada pula yang tersesat dalam banjir informasi. Itulah entropi kognitif. Dan tugas kita, para pendidik, fasilitator, Widyaiswara, adalah mengelolanya.

Entropi sebagai Titik Awal Desain Pembelajaran

Menurut Illeris (2018), pembelajaran yang bermakna harus melibatkan proses kognitif, emosional, dan sosial secara bersamaan. Tapi itu semua hanya bisa terjadi jika kita menyadari bahwa peserta tidak selalu datang dalam keadaan siap.

“Learning is not starting from zero, but from disorder.”
— Interpretasi dari teori konstruktivisme Jean Piaget

Dengan menyadari ini, desain pelatihan tidak lagi berfokus pada penyampaian isi, tapi pada penyusunan ulang struktur berpikir peserta. Modul, metode, dan media harus mampu:

  • Menurunkan tingkat entropi mental
  • Menyambungkan ide-ide yang tercerai-berai
  • Menjadikan yang rumit menjadi sederhana

Peran Widyaiswara: Reduksi Entropi, Bukan Hanya Transfer Ilmu

Saya menyadari, menjadi Widyaiswara bukan berarti saya hanya ‘menyampaikan’. Saya adalah arsitek kognitif, yang bertugas menyusun ulang bangunan berpikir peserta agar lebih tertata dan kontekstual.

Dalam The Adult Learner (Knowles, Holton & Swanson, 2015), disebutkan bahwa orang dewasa belajar ketika mereka:

  1. Merasa pembelajaran itu relevan dengan masalah nyata
  2. Terlibat secara aktif dalam menyusun makna sendiri
  3. Merasa kontrol terhadap proses belajarnya

Ketiga hal ini hanya dapat terjadi jika entropi dalam diri mereka berhasil diredam oleh fasilitator yang peka dan sadar proses.

Umpan Balik, Refleksi, dan Dialog sebagai Pengendali Entropi

Satu hal penting yang saya catat dari perbincangan hari ini: tidak ada desain pelatihan yang ideal tanpa ruang untuk refleksi dan dialog. Ruang ini bukan pelengkap, tapi elemen utama untuk:

  • Mendeteksi ketidakteraturan berpikir
  • Mengajak peserta menyusun ulang pemahaman mereka sendiri
  • Memunculkan kesadaran baru

Menurut Brookfield (2017), refleksi kritis adalah jembatan untuk mentransformasi informasi menjadi kebijaksanaan.

Catatan Penutup: Menata Pikiran, Bukan Mengisi Kepala

Hari ini saya pulang dengan satu kesadaran baru:

“Mengajar bukan tentang mengisi gelas kosong, tapi menyaring air yang keruh.”

Dan dalam konteks itulah, entropi menjadi kawan yang harus dipahami, bukan musuh yang harus dihindari.

Sebagai Widyaiswara, saya berkomitmen untuk terus belajar mengelola entropi ini, agar pelatihan yang saya desain dan fasilitasi bukan sekadar rutinitas, tapi benar-benar menjadi ruang penataan ulang: pikiran yang lebih jernih, tindakan yang lebih berdampak.

Referensi:

  • Illeris, K. (2018). Contemporary Theories of Learning: Learning Theorists In Their Own Words. Routledge.
  • Knowles, M. S., Holton, E. F., & Swanson, R. A. (2015). The Adult Learner.
  • Brookfield, S. D. (2017). Becoming a Critically Reflective Teacher. Jossey-Bass.
  • Clausius, R. (1865). The Mechanical Theory of Heat.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Menemukan Arah: Catatan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Digital

Menemukan Arah: Catatan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Digital

Setiap orang, pada satu titik dalam hidupnya, pasti pernah berhenti sejenak dan bertanya: “Sebenarnya, saya sedang ke mana?”

Pertanyaan itu tidak selalu datang saat badai sedang melanda. Kadang justru hadir di tengah kenyamanan, kesibukan, atau rutinitas yang berjalan seperti biasa. Tapi ada suara kecil yang mulai mengetuk-ngetuk dinding kesadaran—tentang makna, arah, dan kebermanfaatan.

Beberapa hari terakhir, saya banyak merenung. Bukan karena sesuatu yang salah, tapi karena saya ingin segala yang saya lakukan benar-benar bernilai. Saya menelusuri ulang jejak digital, menata ulang prioritas, dan mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah semua ini membawa saya (dan orang lain) menjadi lebih baik?

Media Sosial: Panggung atau Jendela?

Media sosial memang luar biasa. Ia bisa menjadi panggung untuk menampilkan versi terbaik diri, tapi juga bisa menjadi jendela untuk saling belajar dan menginspirasi. Namun, ketika terlalu banyak waktu tercurah pada menjaga panggung, kita bisa lupa merawat ruang dalam diri.

Saya sampai pada kesadaran bahwa tidak semua hal harus dibagikan. Ada hal-hal yang lebih baik diproses dalam diam, ditumbuhkan dalam hening, lalu dipetik hasilnya dalam karya. Being productive is good—but being purposeful is better.

Dari Sibuk ke Bermakna

Refleksi ini membawa saya pada niat sederhana: kembali pada akar. Menyusun ulang aktivitas bukan hanya agar terlihat aktif, tetapi agar betul-betul berdampak. Tidak harus besar, tapi konsisten. Tidak harus viral, tapi bernilai.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, barangkali kita memang butuh ruang untuk melambat. Bukan mundur, tapi memberi diri kesempatan untuk bertumbuh secara lebih sadar.

Tiga Pertanyaan yang Sedang Saya Bawa

Sebagai catatan pembuka dalam learning journal saya kali ini, saya ingin berbagi tiga pertanyaan yang sedang saya bawa dalam proses ini:

  1. Apa yang sebenarnya ingin saya wariskan melalui pekerjaan saya?

  2. Apa yang membuat saya merasa “hidup” saat melakukannya—bukan hanya sibuk, tapi bermakna?

  3. Bagaimana saya bisa terus tumbuh tanpa kehilangan jati diri?

Barangkali ini bukan hanya pertanyaan untuk saya pribadi, tapi juga untuk siapa pun yang sedang menata ulang makna perjalanan hidup dan karya.

Setiap orang punya musimnya. Dan tak ada musim yang sia-sia. Jika sekarang adalah musim refleksi, nikmatilah ia sebagai bagian dari pertumbuhan. Karena terkadang, kita tidak butuh lebih banyak jawaban, tapi ruang untuk bertanya dengan jujur.

Selamat berefleksi, selamat tumbuh.

Fokus yang Terkikis: Apa yang Sebenarnya Terjadi dengan Perhatian Kita?

Fokus yang Terkikis: Apa yang Sebenarnya Terjadi dengan Perhatian Kita?

Hari ini, saya membaca sebuah artikel dari Golden Steps ABA yang membahas tentang rentang perhatian manusia yang semakin pendek. Data yang ditampilkan mengejutkan sekaligus membuat saya merenung lebih dalam tentang bagaimana kita—sebagai manusia modern—menyikapi dunia yang serba cepat ini.

Fakta yang Menggelitik

Pada tahun 2000, rata-rata rentang perhatian manusia adalah 12 detik. Kini? Hanya 8,25 detik. Itu berarti lebih pendek dari ikan mas, yang memiliki rentang perhatian sekitar 9 detik! Sadar atau tidak, ini adalah alarm sunyi bagi kita semua—bahwa kualitas perhatian kita semakin terkikis.

Lalu siapa yang disalahkan?

Teknologi. Media sosial. Notifikasi yang tak henti. Informasi yang terus-menerus membanjiri kita tanpa jeda. Bahkan multitasking, yang dulu dianggap sebagai kemampuan keren, kini terbukti menurunkan efektivitas otak hingga 40%. Otak kita dibanjiri stimulasi, tetapi tidak diberi kesempatan untuk benar-benar menyerap.

Lalu Apa Masalah Sebenarnya?

Masalahnya bukan hanya tentang “fokus kita berkurang”, tetapi lebih dalam dari itu: kita kehilangan kemampuan untuk hadir sepenuhnya.

Bayangkan ini:

  • Guru berbicara di kelas, tapi murid sudah tidak bersama secara mental setelah 10 menit.

  • Seorang profesional duduk dalam rapat, namun pikirannya mengembara karena notifikasi WhatsApp masuk bertubi-tubi.

  • Seorang anak memegang gawai sambil makan, menonton video, sambil main game, tapi tak benar-benar merasakan satu pun aktivitas itu.

Ini bukan hanya masalah pendidikan. Ini masalah eksistensial.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kita tidak sedang berperang dengan teknologi. Yang kita butuhkan adalah kebijaksanaan dalam mengelolanya. Kita perlu kembali bertanya pada diri sendiri:

Apakah saya masih bisa hadir penuh dalam percakapan?
Apakah saya masih bisa membaca satu halaman buku tanpa mengecek ponsel?
Apakah saya masih bisa mendengarkan, bukan hanya mendengar?

Jika kita seorang pendidik, orang tua, pemimpin, atau siapa pun yang bekerja dengan manusia, kita punya tanggung jawab untuk membantu orang lain—dan diri sendiri—mengembalikan kendali atas perhatian.

Latihan Kecil yang Bermakna

Beberapa hal kecil bisa mulai dilakukan hari ini:

  • Berikan jeda digital. Matikan notifikasi selama bekerja.

  • Latih kehadiran penuh. Duduk diam selama 5 menit tanpa gangguan.

  • Ajarkan fokus. Di kelas, ajak murid menulis jurnal tanpa interupsi selama 10 menit penuh.

  • Buat pembelajaran berseling—antara aktivitas aktif dan pasif, digital dan analog.

Kita Butuh Diam Untuk Mendengar

Di tengah dunia yang bising, kemampuan untuk memperhatikan adalah sebuah bentuk revolusi sunyi. Kita tidak bisa mengendalikan semua arus informasi, tapi kita bisa memilih di mana menaruh perhatian kita.

Hari ini, saya belajar satu hal penting:

Fokus bukan tentang kemampuan otak. Fokus adalah soal pilihan.
Dan setiap hari, kita punya pilihan itu.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Jiwa Dalang, Jiwa Pendidik, dan Mengapa Kita Tidak Tergantikan oleh AI

Jiwa Dalang, Jiwa Pendidik, dan Mengapa Kita Tidak Tergantikan oleh AI

Hari ini saya kembali belajar dari tontonan wayang golek di YouTubeDalang besar Ki Asep Sunandar Sunarya (Alm) memainkan wayang bukan sekadar dengan teknik yang sempurna, tetapi dengan seluruh jiwanya.Saya merenung:
“Bukankah ini sama seperti tugas kita sebagai pendidik? Bukan sekadar tentang cara mengajar, tetapi tentang jiwa dalam mendidik.”
Dan lebih jauh lagi: “Inilah alasan mengapa manusia — sebagai pendidik — tidak bisa digantikan oleh robot atau AI.”


Lebih dari Metode: Pendidikan Adalah Hubungan Jiwa ke Jiwa

Robot bisa menyampaikan materi.
AI bisa menyusun kurikulum.
Tetapi AI tidak punya jiwa — tidak punya roh yang bisa menghidupkan pembelajaran.

Carl Rogers, dalam teori Person-Centered Education, menyatakan bahwa pendidikan sejati melibatkan kehadiran penuh, empati, dan hubungan otentik antara pendidik dan peserta didik.

Hubungan manusiawi ini — bukan sekadar transfer informasi — adalah inti pendidikan.
Robot dan AI tidak bisa hadir dengan empati, kehangatan, dan nilai kehidupan.


Menjadi Role Model: Bukan Sekadar Instruksi, Tapi Inspirasi

Ketika Ki Asep memainkan wayang, ia tidak “mengajar” tokohnya bicara. Ia menghidupkannya.
Sama seperti kita: Mengajar bukan hanya memberi instruksi, tetapi menjadi inspirasi hidup.

Teori Transformational Leadership dari Bernard M. Bass juga menekankan pentingnya pemimpin (atau pendidik) menginspirasi, membangun nilai, dan memberikan keteladanan emosional kepada orang-orang yang dipimpinnya.

Transformasi tidak lahir dari prosedur. Transformasi lahir dari jiwa.


Teknologi Membantu, Tapi Jiwa Manusia yang Membimbing

Teknologi bisa mempercepat akses belajar.
AI bisa membantu personalisasi konten.
Tetapi hanya manusia yang bisa:

  • Membaca “suara hati” peserta didik yang diam.
  • Memberi semangat ketika peserta mulai putus asa.
  • Menjadi teladan kejujuran, ketangguhan, dan kasih sayang.

Howard Gardner dalam konsep Multiple Intelligences mengingatkan kita bahwa kecerdasan manusia itu beragam: emosional, sosial, moral — bukan hanya logika atau bahasa.

AI hanya bisa meniru sebagian kecil dari itu.


Menjadi Pendidik Masa Depan: Jiwa yang Diperkuat, Bukan Digantikan

Saya percaya, masa depan pendidikan bukan tentang siapa yang bisa lebih cepat menggunakan AI,
tetapi siapa yang bisa memperkuat kemanusiaannya di tengah teknologi.

Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century juga mengingatkan bahwa di masa AI, keterampilan manusiawi seperti kreativitas, empati, dan etika menjadi semakin penting.

Maka tugas kita, para pendidik, adalah menjadi:

  • Pencipta pengalaman belajar, bukan sekadar penyampai materi.
  • Penumbuh nilai dan karakter, bukan sekadar pengisi otak.
  • Penjaga jiwa pembelajar, bukan sekadar operator sistem.

Refleksi untuk hari ini:
“Bagaimana hari ini saya mengajar dengan cara yang tidak mungkin bisa digantikan oleh robot atau AI?”

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Belajar dari Tidak Terlalu Banyak Bicara

Belajar dari Tidak Terlalu Banyak Bicara

Refleksi dari Sebuah Presentasi dan Sebuah Kalimat Bijak di Rumah
Kemarin 24 April 2025, saya berdiri di depan beberapa audien yang cukup penting sebagai penguji kinerja. Saya memulai presentasi dengan keyakinan bahwa apa yang saya sampaikan bukanlah tentang saya, tapi tentang gagasan yang saya bawa.Saya berusaha membuat bahan presentasi yang sederhana, tidak terlalu banyak slide, tidak banyak teks, hanya poin-poin penting dan visual yang mendukung. Bukan karena saya tidak punya banyak hal untuk dibagikan, tetapi karena saya ingin memberikan ruang bagi audien untuk menangkap esensinya, bukan sibuk menyalin semua kata yang tertulis di layar.

Saya meyakinkan diri: “Ini bukan ajang pamer. Ini adalah ruang untuk menyampaikan ide dan laporan dengan tulus.”

Sebuah Kalimat Kecil di Rumah yang Menyentuh

Semalam kami bertiga berkumpul di kamar kecil, tempat favorit kami melepas lelah. Kaki saya masih terasa pegal setelah berdiri lama di dalam KRL sepulang kerja. Sambil merebahkan diri, saya mendengarkan istri yang tengah berbicara lembut kepada anak kami.

Nak, berbicaralah seperlunya, ya. Pilih dulu kata-katamu sebelum diucapkan. Kadang, tanpa sadar, kata yang tak tepat bisa menyakiti hati temanmu.

Saya tersenyum kecil, sambil membayangkan siang tadi anak kami pasti sedang seru-serunya bermain dan bercerita bersama teman-temannya, hingga mungkin terlalu asyik berbicara dan lupa mengukur kata. Saya terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi memukul kesadaran saya dengan lembut.

Betapa banyak dari kita yang bicara terlalu banyak, tetapi lupa memilih kata, lupa mendengarkan, lupa merasakan, dan lupa mengukur dampak dari kata-kata yang terucap.

Presentasi yang Bermakna Bukan tentang Banyaknya Kata

Seorang presenter hebat bukan yang bisa berbicara lama tanpa henti, tapi yang mampu menyampaikan pesan dengan singkat, kuat, dan tepat sasaran. Garr Reynolds dalam bukunya Presentation Zen menekankan pentingnya kesederhanaan visual dan kekuatan narasi untuk menghubungkan presenter dengan audiens (Reynolds, 2011).

Visual yang sederhana + Narasi yang bermakna = Pesan yang mengena

Dalam dunia yang penuh distraksi, kekuatan presentasi justru terletak pada kemampuan untuk memilih kata yang penting dan menahan kata yang tak perlu. Hal ini selaras dengan prinsip komunikasi dari Paul Watzlawick, seorang tokoh komunikasi dunia, yang menyatakan bahwa “You cannot not communicate.” Bahkan ketika kita diam, kita tetap mengirim pesan (Watzlawick et al., 1967).

Maka dari itu,

Pilihan kata bukan soal estetika, tapi soal tanggung jawab.

Kata-Kata yang Membangun, Bukan Menyakiti

Kembali ke percakapan istri saya dengan anak kami, saya menyadari satu hal penting: kata-kata bisa menjadi jembatan, tapi juga bisa menjadi jurang.

Dalam komunikasi interpersonal, seperti dijelaskan oleh Carl Rogers dalam teorinya tentang komunikasi empatik, “Understanding another person’s experience without making them feel judged is the foundation of good communication.” (Rogers, 1961).

Jika kata-kata dalam presentasi kita bisa membangun empati, bukan hanya menyampaikan isi, maka kita telah menjadi lebih dari sekadar komunikator—kita menjadi manusia yang utuh.

Mengapa Kita Perlu Belajar Menahan Bicara?

  • Agar audien merasa dihargai.
    Kita bukan pusat perhatian—pesan kita adalah pusat perhatian audien
  • Agar kita menyampaikan hal yang benar-benar penting.
    Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.” (Einstein)
  • Agar kata-kata kita tidak menyakiti tanpa sengaja.
    Kadang kita terlalu ingin terlihat pintar, sampai lupa bahwa audien kita punya luka, trauma, atau keterbatasannya sendiri

Mengakhiri dengan Kesadaran Baru

Mulai Pagi ini, saya memperkuat keyakinan untuk selalu memperbaiki slide dan narasi presentasi saya, serta memperbaiki niat dan pilihan kata. Saya mulai bertanya pada diri sendiri:

“Apakah kata-kataku akan menolong mereka memahami, atau hanya memperbesar egoku?”
“Apakah aku memberi ruang untuk audiens berpikir, atau aku menjejalkan semua yang aku tahu dalam satu waktu?”
“Apakah aku menyampaikan dengan hati?”

Mengajak Anda Merenung

Mungkin kita tidak selalu bisa menjadi presenter yang sempurna. Tapi kita selalu bisa menjadi presenter yang peduli. Yang berbicara secukupnya, dengan hati yang penuh.

Karena sesungguhnya, presentasi terbaik bukan yang membuat audien kagum, tapi yang membuat mereka pulang dengan pemahaman baru, semangat baru, dan tidak merasa direndahkan sedikit pun.

“Jangan terlalu banyak bicara… bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu bahwa setiap kata punya dampak.”

Mari belajar dari anak-anak, belajar dari rumah, belajar dari diam yang bermakna. Mari terus belajar menjadi manusia yang menyampaikan kebenaran dengan baik, dengan bijak, dan dengan kasih.

Awali setiap presentasi dengan menutup mata, menarik nafas seraya berdoa agar pikiran dan lidah kita memberikan manfaat

Referensi:

  • Siti Kurnia Rohayati, Bidadari dan Istri Tercinta
  • Reynolds, G. (2011). Presentation Zen: Simple Ideas on Presentation Design and Delivery. New Riders. Link
  • Rogers, C. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Houghton Mifflin Harcourt. Link
  • Watzlawick, P., Beavin, J. H., & Jackson, D. D. (1967). Pragmatics of Human Communication. W. W. Norton. Link
  • Einstein, A. (Quote attributed). Quote Investigator

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

New title
Hubungi Indra, Klik disini!

Terima kasih sudah berkunjung ke indrapedia.com!

Sahabat Belajar

Kang Indra

Online

Kang IndraBersama Indra dari Indrapedia

Hai, ada yang bisa saya bantu? 00.00