Scroll TikTok, Ketemu Struktur Bicara yang Bikin Fokus, SIMASBEN Jadi Kuncinya

Scroll TikTok, Ketemu Struktur Bicara yang Bikin Fokus, SIMASBEN Jadi Kuncinya

Sore itu, angin Bojonggede cukup ramah. Saya duduk di teras sambil menikmati teh hangat dan rutinitas akhir pekan: scroll TikTok 😍🤩😎.   Saya butuh rehat sejenak dari materi pelatihan dan draft modul yang menumpuk.

Tiba-tiba muncullah satu postingan dari akun edukatif: @logika-filsuf. Judulnya catchy banget:

“5 Struktur Bicara yang Bikin Orang Fokus (dan Gak Scroll HP Saat Kamu Ngomong)”

Sebagai seorang pengajar dan trainer, Saya langsung berhenti scrolling. Kenapa? Karena aku tahu tantangan terbesar saat ini bukan cuma isi pesan, tapi bagaimana menyampaikannya dengan cepat, jelas, dan bikin orang benar-benar mendengarkan.

📌 Isi TikTok @logika-filsuf

Di post tersebut, disampaikan ada 5 struktur komunikasi singkat yang powerful:

  1. Masalah – Dampak – Solusi
  2. Dulu – Sekarang – Nanti
  3. Fakta – Cerita – Pertanyaan
  4. 3 Poin Inti
  5. Tarik – Tahan – Tembak

Yang menarik, kelimanya bisa digunakan untuk presentasi, ngobrol, atau pitching ide. Tapi aku merasa ada satu yang kurang. Yaitu struktur yang aku kembangkan sejak 2015 dan sering ajarkan dalam pelatihan ASN dan pendidik, terutama dalam Teknik Presentasi Ilmiah: SIMASBEN.

✨ Struktur Ke-6 dari Pengalaman Lapangan

SIMASBEN adalah singkatan dari: Signifikansi – Masalah – Solusi – Benefit. Struktur ini membantu menyampaikan ide atau kebijakan secara cepat namun berdampak. Dibuka dengan Signifikansi (fakta, kutipan, atau pertanyaan retoris), dilanjutkan dengan Masalah, lalu Solusi, dan ditutup dengan Benefit langsung bagi audiens.

🔍 Bahas Satu per Satu yuk…

    • Masalah – Dampak – Solusi – Fokus pada urgensi.
      ✅ Emosional dan membangkitkan empati
      ❌ Bisa membuat audiens stres jika tidak diberi harapan.
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Banyak warga mengeluhkan lamanya proses birokrasi. Akibatnya, kepercayaan pada lembaga publik menurun. Solusinya adalah digitalisasi layanan yang memangkas waktu tunggu secara signifikan.”
      🔗 Nancy Duarte – Resonate

 

    • Dulu – Sekarang – Nanti – Narasi perubahan dari masa ke masa.
      ✅ Cocok untuk kampanye atau visi organisasi
      ❌ Kurang relevan jika audiens tak punya konteks sejarah
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Dulu, masyarakat harus datang langsung ke kantor untuk mengurus dokumen. Sekarang, kita sudah mulai mengadopsi layanan digital. Nanti, seluruh pelayanan akan bisa dilakukan dari rumah melalui satu portal terpadu.”
      🔗 Simon Sinek – Start With Why

 

    • Fakta – Cerita – Pertanyaan – Gabungkan logika, emosi, dan refleksi.
      ✅ Menarik dan partisipatif
      ❌ Butuh latihan membangun cerita yang tepat
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “97% layanan administratif bisa diproses secara daring. Saya pernah membantu seorang ibu di desa yang kini bisa cetak KIA anaknya tanpa harus pergi ke kota. Apa yang bisa kita lakukan agar semua layanan bisa semudah itu?”
      🔗 Chip & Dan Heath – Made to Stick

 

    • 3 Poin Inti – Gaya klasik public speaking.
      ✅ Ringkas dan mudah diingat
      ❌ Kurang menggugah secara emosional
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Layanan ASN yang berkualitas itu: cepat, transparan, dan empatik.”
      🔗 Dale Carnegie – The Art of Public Speaking

 

    • Tarik – Tahan – Tembak – Teknik komunikasi dari dunia negosiasi.
      ✅ Dramatis dan persuasif
      ❌ Terasa agresif jika tak tepat digunakan
      🗣️ Contoh Kalimat :
      “Pernah merasa frustrasi saat harus antre berjam-jam untuk layanan sederhana? Bayangkan kalau semua itu bisa selesai dalam 5 menit. Inilah saatnya kita ubah pelayanan ASN lewat sistem digital berbasis AI.”
      🔗 Chris Voss – Never Split The Difference

 

  • SIMASBEN – Struktur praktis untuk ASN dan pendidik.
    ✅ Terstruktur dan komunikatif
    ❌ Perlu latihan awal
    🗣️ Contoh Kalimat :
    “Tahukah Anda bahwa 80% pengaduan masyarakat berkaitan dengan pelayanan lambat dari ASN? Ini menunjukkan masih adanya gap antara ekspektasi publik dan sistem kerja kita. Karena itu, kami kembangkan sistem pelayanan satu pintu digital berbasis kebutuhan warga. Hasilnya, waktu pelayanan turun hingga 60% dan kepuasan masyarakat meningkat tajam.”
    🔗 IndraPedia.com – SIMASBEN

 

📊 Tabel Perbandingan 6 Struktur Komunikasi

Struktur Fokus Utama Kelebihan Kelemahan Cocok Untuk
Masalah–Dampak–Solusi Urgensi dan respon Emosional, visual, cepat memicu aksi Terlalu berat jika tanpa harapan Kampanye, advokasi, presentasi publik
Dulu–Sekarang–Nanti Perubahan dan visi Naratif, cocok untuk transformasi Kurang cocok jika tanpa konteks sejarah Perubahan organisasi, pidato inspiratif
Fakta–Cerita–Pertanyaan Logika & emosi Interaktif, reflektif Butuh penguasaan narasi Diskusi, workshop, pelatihan
3 Poin Inti Struktur ringkas Mudah diingat Kurang emosional Pidato, briefing cepat
Tarik–Tahan–Tembak Persuasi & tensi Negosiasi yang menggugah Kurang cocok untuk konteks formal Negosiasi, pitching
SIMASBEN Keseimbangan naratif-logika Struktural, aplikatif untuk ASN/Pendidik Butuh latihan awal, membedakan SI dan MA Presentasi kebijakan, pelatihan

 

🧠 Refleksi Pribadi

Setiap struktur punya konteksnya. Tapi untuk dunia ASN, pelatihan, dan pendidikan yang menuntut komunikasi strategis dan berdampak, SIMASBEN adalah struktur yang paling stabil, mudah dipelajari, dan fleksibel diterapkan.

🚀 Tantangan untuk Minggu Ini

“Coba ucapkan satu ide penting Anda menggunakan salah satu dari 6 struktur di atas. Rekam, lalu bandingkan: mana yang paling menggugah?”

 

Entropi dalam Pembelajaran dan Pelatihan: Makna dan Implikasi bagi Widyaiswara

Entropi dalam Pembelajaran dan Pelatihan: Makna dan Implikasi bagi Widyaiswara

Hari ini, Rabu 25 Juni 2025, saya merasa beruntung. Dalam proses penyusunan desain pelatihan, saya berkesempatan berbincang dengan seorang Subject Matter Expert (SME) yang bukan hanya menguasai substansi, tetapi juga memantik cara berpikir saya tentang esensi pembelajaran. Dari percakapan yang awalnya terasa ringan, muncul satu topik mendalam yang mengubah sudut pandang saya sebagai Widyaiswara: entropi.

Apa Itu Entropi dalam Konteks Pembelajaran?

Dalam ilmu fisika, entropi didefinisikan sebagai ukuran ketidakteraturan atau keacakan dalam suatu sistem (Carnot, 1824; Clausius, 1865). Namun, hari ini saya memaknai ulang entropi, bukan sebagai istilah termodinamika, tapi sebagai realitas mental peserta pelatihan: keadaan awal yang kacau, penuh asumsi, bias, dan pengetahuan yang belum terstruktur.

Peserta datang dengan beban berpikirnya masing-masing. Ada yang sudah tahu tapi ragu. Ada yang tidak tahu tapi malu bertanya. Ada pula yang tersesat dalam banjir informasi. Itulah entropi kognitif. Dan tugas kita, para pendidik, fasilitator, Widyaiswara, adalah mengelolanya.

Entropi sebagai Titik Awal Desain Pembelajaran

Menurut Illeris (2018), pembelajaran yang bermakna harus melibatkan proses kognitif, emosional, dan sosial secara bersamaan. Tapi itu semua hanya bisa terjadi jika kita menyadari bahwa peserta tidak selalu datang dalam keadaan siap.

“Learning is not starting from zero, but from disorder.”
— Interpretasi dari teori konstruktivisme Jean Piaget

Dengan menyadari ini, desain pelatihan tidak lagi berfokus pada penyampaian isi, tapi pada penyusunan ulang struktur berpikir peserta. Modul, metode, dan media harus mampu:

  • Menurunkan tingkat entropi mental
  • Menyambungkan ide-ide yang tercerai-berai
  • Menjadikan yang rumit menjadi sederhana

Peran Widyaiswara: Reduksi Entropi, Bukan Hanya Transfer Ilmu

Saya menyadari, menjadi Widyaiswara bukan berarti saya hanya ‘menyampaikan’. Saya adalah arsitek kognitif, yang bertugas menyusun ulang bangunan berpikir peserta agar lebih tertata dan kontekstual.

Dalam The Adult Learner (Knowles, Holton & Swanson, 2015), disebutkan bahwa orang dewasa belajar ketika mereka:

  1. Merasa pembelajaran itu relevan dengan masalah nyata
  2. Terlibat secara aktif dalam menyusun makna sendiri
  3. Merasa kontrol terhadap proses belajarnya

Ketiga hal ini hanya dapat terjadi jika entropi dalam diri mereka berhasil diredam oleh fasilitator yang peka dan sadar proses.

Umpan Balik, Refleksi, dan Dialog sebagai Pengendali Entropi

Satu hal penting yang saya catat dari perbincangan hari ini: tidak ada desain pelatihan yang ideal tanpa ruang untuk refleksi dan dialog. Ruang ini bukan pelengkap, tapi elemen utama untuk:

  • Mendeteksi ketidakteraturan berpikir
  • Mengajak peserta menyusun ulang pemahaman mereka sendiri
  • Memunculkan kesadaran baru

Menurut Brookfield (2017), refleksi kritis adalah jembatan untuk mentransformasi informasi menjadi kebijaksanaan.

Catatan Penutup: Menata Pikiran, Bukan Mengisi Kepala

Hari ini saya pulang dengan satu kesadaran baru:

“Mengajar bukan tentang mengisi gelas kosong, tapi menyaring air yang keruh.”

Dan dalam konteks itulah, entropi menjadi kawan yang harus dipahami, bukan musuh yang harus dihindari.

Sebagai Widyaiswara, saya berkomitmen untuk terus belajar mengelola entropi ini, agar pelatihan yang saya desain dan fasilitasi bukan sekadar rutinitas, tapi benar-benar menjadi ruang penataan ulang: pikiran yang lebih jernih, tindakan yang lebih berdampak.

Referensi:

  • Illeris, K. (2018). Contemporary Theories of Learning: Learning Theorists In Their Own Words. Routledge.
  • Knowles, M. S., Holton, E. F., & Swanson, R. A. (2015). The Adult Learner.
  • Brookfield, S. D. (2017). Becoming a Critically Reflective Teacher. Jossey-Bass.
  • Clausius, R. (1865). The Mechanical Theory of Heat.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Menemukan Arah: Catatan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Digital

Menemukan Arah: Catatan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Digital

Setiap orang, pada satu titik dalam hidupnya, pasti pernah berhenti sejenak dan bertanya: “Sebenarnya, saya sedang ke mana?”

Pertanyaan itu tidak selalu datang saat badai sedang melanda. Kadang justru hadir di tengah kenyamanan, kesibukan, atau rutinitas yang berjalan seperti biasa. Tapi ada suara kecil yang mulai mengetuk-ngetuk dinding kesadaran—tentang makna, arah, dan kebermanfaatan.

Beberapa hari terakhir, saya banyak merenung. Bukan karena sesuatu yang salah, tapi karena saya ingin segala yang saya lakukan benar-benar bernilai. Saya menelusuri ulang jejak digital, menata ulang prioritas, dan mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah semua ini membawa saya (dan orang lain) menjadi lebih baik?

Media Sosial: Panggung atau Jendela?

Media sosial memang luar biasa. Ia bisa menjadi panggung untuk menampilkan versi terbaik diri, tapi juga bisa menjadi jendela untuk saling belajar dan menginspirasi. Namun, ketika terlalu banyak waktu tercurah pada menjaga panggung, kita bisa lupa merawat ruang dalam diri.

Saya sampai pada kesadaran bahwa tidak semua hal harus dibagikan. Ada hal-hal yang lebih baik diproses dalam diam, ditumbuhkan dalam hening, lalu dipetik hasilnya dalam karya. Being productive is good—but being purposeful is better.

Dari Sibuk ke Bermakna

Refleksi ini membawa saya pada niat sederhana: kembali pada akar. Menyusun ulang aktivitas bukan hanya agar terlihat aktif, tetapi agar betul-betul berdampak. Tidak harus besar, tapi konsisten. Tidak harus viral, tapi bernilai.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, barangkali kita memang butuh ruang untuk melambat. Bukan mundur, tapi memberi diri kesempatan untuk bertumbuh secara lebih sadar.

Tiga Pertanyaan yang Sedang Saya Bawa

Sebagai catatan pembuka dalam learning journal saya kali ini, saya ingin berbagi tiga pertanyaan yang sedang saya bawa dalam proses ini:

  1. Apa yang sebenarnya ingin saya wariskan melalui pekerjaan saya?

  2. Apa yang membuat saya merasa “hidup” saat melakukannya—bukan hanya sibuk, tapi bermakna?

  3. Bagaimana saya bisa terus tumbuh tanpa kehilangan jati diri?

Barangkali ini bukan hanya pertanyaan untuk saya pribadi, tapi juga untuk siapa pun yang sedang menata ulang makna perjalanan hidup dan karya.

Setiap orang punya musimnya. Dan tak ada musim yang sia-sia. Jika sekarang adalah musim refleksi, nikmatilah ia sebagai bagian dari pertumbuhan. Karena terkadang, kita tidak butuh lebih banyak jawaban, tapi ruang untuk bertanya dengan jujur.

Selamat berefleksi, selamat tumbuh.

Fokus yang Terkikis: Apa yang Sebenarnya Terjadi dengan Perhatian Kita?

Fokus yang Terkikis: Apa yang Sebenarnya Terjadi dengan Perhatian Kita?

Hari ini, saya membaca sebuah artikel dari Golden Steps ABA yang membahas tentang rentang perhatian manusia yang semakin pendek. Data yang ditampilkan mengejutkan sekaligus membuat saya merenung lebih dalam tentang bagaimana kita—sebagai manusia modern—menyikapi dunia yang serba cepat ini.

Fakta yang Menggelitik

Pada tahun 2000, rata-rata rentang perhatian manusia adalah 12 detik. Kini? Hanya 8,25 detik. Itu berarti lebih pendek dari ikan mas, yang memiliki rentang perhatian sekitar 9 detik! Sadar atau tidak, ini adalah alarm sunyi bagi kita semua—bahwa kualitas perhatian kita semakin terkikis.

Lalu siapa yang disalahkan?

Teknologi. Media sosial. Notifikasi yang tak henti. Informasi yang terus-menerus membanjiri kita tanpa jeda. Bahkan multitasking, yang dulu dianggap sebagai kemampuan keren, kini terbukti menurunkan efektivitas otak hingga 40%. Otak kita dibanjiri stimulasi, tetapi tidak diberi kesempatan untuk benar-benar menyerap.

Lalu Apa Masalah Sebenarnya?

Masalahnya bukan hanya tentang “fokus kita berkurang”, tetapi lebih dalam dari itu: kita kehilangan kemampuan untuk hadir sepenuhnya.

Bayangkan ini:

  • Guru berbicara di kelas, tapi murid sudah tidak bersama secara mental setelah 10 menit.

  • Seorang profesional duduk dalam rapat, namun pikirannya mengembara karena notifikasi WhatsApp masuk bertubi-tubi.

  • Seorang anak memegang gawai sambil makan, menonton video, sambil main game, tapi tak benar-benar merasakan satu pun aktivitas itu.

Ini bukan hanya masalah pendidikan. Ini masalah eksistensial.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kita tidak sedang berperang dengan teknologi. Yang kita butuhkan adalah kebijaksanaan dalam mengelolanya. Kita perlu kembali bertanya pada diri sendiri:

Apakah saya masih bisa hadir penuh dalam percakapan?
Apakah saya masih bisa membaca satu halaman buku tanpa mengecek ponsel?
Apakah saya masih bisa mendengarkan, bukan hanya mendengar?

Jika kita seorang pendidik, orang tua, pemimpin, atau siapa pun yang bekerja dengan manusia, kita punya tanggung jawab untuk membantu orang lain—dan diri sendiri—mengembalikan kendali atas perhatian.

Latihan Kecil yang Bermakna

Beberapa hal kecil bisa mulai dilakukan hari ini:

  • Berikan jeda digital. Matikan notifikasi selama bekerja.

  • Latih kehadiran penuh. Duduk diam selama 5 menit tanpa gangguan.

  • Ajarkan fokus. Di kelas, ajak murid menulis jurnal tanpa interupsi selama 10 menit penuh.

  • Buat pembelajaran berseling—antara aktivitas aktif dan pasif, digital dan analog.

Kita Butuh Diam Untuk Mendengar

Di tengah dunia yang bising, kemampuan untuk memperhatikan adalah sebuah bentuk revolusi sunyi. Kita tidak bisa mengendalikan semua arus informasi, tapi kita bisa memilih di mana menaruh perhatian kita.

Hari ini, saya belajar satu hal penting:

Fokus bukan tentang kemampuan otak. Fokus adalah soal pilihan.
Dan setiap hari, kita punya pilihan itu.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Jiwa Dalang, Jiwa Pendidik, dan Mengapa Kita Tidak Tergantikan oleh AI

Jiwa Dalang, Jiwa Pendidik, dan Mengapa Kita Tidak Tergantikan oleh AI

Hari ini saya kembali belajar dari tontonan wayang golek di YouTubeDalang besar Ki Asep Sunandar Sunarya (Alm) memainkan wayang bukan sekadar dengan teknik yang sempurna, tetapi dengan seluruh jiwanya.Saya merenung:
“Bukankah ini sama seperti tugas kita sebagai pendidik? Bukan sekadar tentang cara mengajar, tetapi tentang jiwa dalam mendidik.”
Dan lebih jauh lagi: “Inilah alasan mengapa manusia — sebagai pendidik — tidak bisa digantikan oleh robot atau AI.”


Lebih dari Metode: Pendidikan Adalah Hubungan Jiwa ke Jiwa

Robot bisa menyampaikan materi.
AI bisa menyusun kurikulum.
Tetapi AI tidak punya jiwa — tidak punya roh yang bisa menghidupkan pembelajaran.

Carl Rogers, dalam teori Person-Centered Education, menyatakan bahwa pendidikan sejati melibatkan kehadiran penuh, empati, dan hubungan otentik antara pendidik dan peserta didik.

Hubungan manusiawi ini — bukan sekadar transfer informasi — adalah inti pendidikan.
Robot dan AI tidak bisa hadir dengan empati, kehangatan, dan nilai kehidupan.


Menjadi Role Model: Bukan Sekadar Instruksi, Tapi Inspirasi

Ketika Ki Asep memainkan wayang, ia tidak “mengajar” tokohnya bicara. Ia menghidupkannya.
Sama seperti kita: Mengajar bukan hanya memberi instruksi, tetapi menjadi inspirasi hidup.

Teori Transformational Leadership dari Bernard M. Bass juga menekankan pentingnya pemimpin (atau pendidik) menginspirasi, membangun nilai, dan memberikan keteladanan emosional kepada orang-orang yang dipimpinnya.

Transformasi tidak lahir dari prosedur. Transformasi lahir dari jiwa.


Teknologi Membantu, Tapi Jiwa Manusia yang Membimbing

Teknologi bisa mempercepat akses belajar.
AI bisa membantu personalisasi konten.
Tetapi hanya manusia yang bisa:

  • Membaca “suara hati” peserta didik yang diam.
  • Memberi semangat ketika peserta mulai putus asa.
  • Menjadi teladan kejujuran, ketangguhan, dan kasih sayang.

Howard Gardner dalam konsep Multiple Intelligences mengingatkan kita bahwa kecerdasan manusia itu beragam: emosional, sosial, moral — bukan hanya logika atau bahasa.

AI hanya bisa meniru sebagian kecil dari itu.


Menjadi Pendidik Masa Depan: Jiwa yang Diperkuat, Bukan Digantikan

Saya percaya, masa depan pendidikan bukan tentang siapa yang bisa lebih cepat menggunakan AI,
tetapi siapa yang bisa memperkuat kemanusiaannya di tengah teknologi.

Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century juga mengingatkan bahwa di masa AI, keterampilan manusiawi seperti kreativitas, empati, dan etika menjadi semakin penting.

Maka tugas kita, para pendidik, adalah menjadi:

  • Pencipta pengalaman belajar, bukan sekadar penyampai materi.
  • Penumbuh nilai dan karakter, bukan sekadar pengisi otak.
  • Penjaga jiwa pembelajar, bukan sekadar operator sistem.

Refleksi untuk hari ini:
“Bagaimana hari ini saya mengajar dengan cara yang tidak mungkin bisa digantikan oleh robot atau AI?”

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Belajar dari Tidak Terlalu Banyak Bicara

Belajar dari Tidak Terlalu Banyak Bicara

Refleksi dari Sebuah Presentasi dan Sebuah Kalimat Bijak di Rumah
Kemarin 24 April 2025, saya berdiri di depan beberapa audien yang cukup penting sebagai penguji kinerja. Saya memulai presentasi dengan keyakinan bahwa apa yang saya sampaikan bukanlah tentang saya, tapi tentang gagasan yang saya bawa.Saya berusaha membuat bahan presentasi yang sederhana, tidak terlalu banyak slide, tidak banyak teks, hanya poin-poin penting dan visual yang mendukung. Bukan karena saya tidak punya banyak hal untuk dibagikan, tetapi karena saya ingin memberikan ruang bagi audien untuk menangkap esensinya, bukan sibuk menyalin semua kata yang tertulis di layar.

Saya meyakinkan diri: “Ini bukan ajang pamer. Ini adalah ruang untuk menyampaikan ide dan laporan dengan tulus.”

Sebuah Kalimat Kecil di Rumah yang Menyentuh

Semalam kami bertiga berkumpul di kamar kecil, tempat favorit kami melepas lelah. Kaki saya masih terasa pegal setelah berdiri lama di dalam KRL sepulang kerja. Sambil merebahkan diri, saya mendengarkan istri yang tengah berbicara lembut kepada anak kami.

Nak, berbicaralah seperlunya, ya. Pilih dulu kata-katamu sebelum diucapkan. Kadang, tanpa sadar, kata yang tak tepat bisa menyakiti hati temanmu.

Saya tersenyum kecil, sambil membayangkan siang tadi anak kami pasti sedang seru-serunya bermain dan bercerita bersama teman-temannya, hingga mungkin terlalu asyik berbicara dan lupa mengukur kata. Saya terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi memukul kesadaran saya dengan lembut.

Betapa banyak dari kita yang bicara terlalu banyak, tetapi lupa memilih kata, lupa mendengarkan, lupa merasakan, dan lupa mengukur dampak dari kata-kata yang terucap.

Presentasi yang Bermakna Bukan tentang Banyaknya Kata

Seorang presenter hebat bukan yang bisa berbicara lama tanpa henti, tapi yang mampu menyampaikan pesan dengan singkat, kuat, dan tepat sasaran. Garr Reynolds dalam bukunya Presentation Zen menekankan pentingnya kesederhanaan visual dan kekuatan narasi untuk menghubungkan presenter dengan audiens (Reynolds, 2011).

Visual yang sederhana + Narasi yang bermakna = Pesan yang mengena

Dalam dunia yang penuh distraksi, kekuatan presentasi justru terletak pada kemampuan untuk memilih kata yang penting dan menahan kata yang tak perlu. Hal ini selaras dengan prinsip komunikasi dari Paul Watzlawick, seorang tokoh komunikasi dunia, yang menyatakan bahwa “You cannot not communicate.” Bahkan ketika kita diam, kita tetap mengirim pesan (Watzlawick et al., 1967).

Maka dari itu,

Pilihan kata bukan soal estetika, tapi soal tanggung jawab.

Kata-Kata yang Membangun, Bukan Menyakiti

Kembali ke percakapan istri saya dengan anak kami, saya menyadari satu hal penting: kata-kata bisa menjadi jembatan, tapi juga bisa menjadi jurang.

Dalam komunikasi interpersonal, seperti dijelaskan oleh Carl Rogers dalam teorinya tentang komunikasi empatik, “Understanding another person’s experience without making them feel judged is the foundation of good communication.” (Rogers, 1961).

Jika kata-kata dalam presentasi kita bisa membangun empati, bukan hanya menyampaikan isi, maka kita telah menjadi lebih dari sekadar komunikator—kita menjadi manusia yang utuh.

Mengapa Kita Perlu Belajar Menahan Bicara?

  • Agar audien merasa dihargai.
    Kita bukan pusat perhatian—pesan kita adalah pusat perhatian audien
  • Agar kita menyampaikan hal yang benar-benar penting.
    Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough.” (Einstein)
  • Agar kata-kata kita tidak menyakiti tanpa sengaja.
    Kadang kita terlalu ingin terlihat pintar, sampai lupa bahwa audien kita punya luka, trauma, atau keterbatasannya sendiri

Mengakhiri dengan Kesadaran Baru

Mulai Pagi ini, saya memperkuat keyakinan untuk selalu memperbaiki slide dan narasi presentasi saya, serta memperbaiki niat dan pilihan kata. Saya mulai bertanya pada diri sendiri:

“Apakah kata-kataku akan menolong mereka memahami, atau hanya memperbesar egoku?”
“Apakah aku memberi ruang untuk audiens berpikir, atau aku menjejalkan semua yang aku tahu dalam satu waktu?”
“Apakah aku menyampaikan dengan hati?”

Mengajak Anda Merenung

Mungkin kita tidak selalu bisa menjadi presenter yang sempurna. Tapi kita selalu bisa menjadi presenter yang peduli. Yang berbicara secukupnya, dengan hati yang penuh.

Karena sesungguhnya, presentasi terbaik bukan yang membuat audien kagum, tapi yang membuat mereka pulang dengan pemahaman baru, semangat baru, dan tidak merasa direndahkan sedikit pun.

“Jangan terlalu banyak bicara… bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu bahwa setiap kata punya dampak.”

Mari belajar dari anak-anak, belajar dari rumah, belajar dari diam yang bermakna. Mari terus belajar menjadi manusia yang menyampaikan kebenaran dengan baik, dengan bijak, dan dengan kasih.

Awali setiap presentasi dengan menutup mata, menarik nafas seraya berdoa agar pikiran dan lidah kita memberikan manfaat

Referensi:

  • Siti Kurnia Rohayati, Bidadari dan Istri Tercinta
  • Reynolds, G. (2011). Presentation Zen: Simple Ideas on Presentation Design and Delivery. New Riders. Link
  • Rogers, C. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Houghton Mifflin Harcourt. Link
  • Watzlawick, P., Beavin, J. H., & Jackson, D. D. (1967). Pragmatics of Human Communication. W. W. Norton. Link
  • Einstein, A. (Quote attributed). Quote Investigator

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Hak Cipta Gambar AI di Indonesia dan Perbandingan di Beberapa Negara: Apa yang Perlu Diketahui?

Hak Cipta Gambar AI di Indonesia dan Perbandingan di Beberapa Negara: Apa yang Perlu Diketahui?

Di era kecerdasan buatan (AI), banyak seniman dan kreator menggunakan alat generatif AI untuk menciptakan gambar. Namun, bagaimana status hukum dari karya-karya ini di Indonesia?

1. Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) menetapkan bahwa hak cipta diberikan kepada pencipta, yaitu individu atau kelompok yang menghasilkan karya secara langsung. Dalam konteks ini, karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tanpa campur tangan manusia tidak memenuhi syarat sebagai ciptaan yang dilindungi hak cipta. Namun, jika manusia memberikan kontribusi signifikan, seperti menyusun prompt atau melakukan kurasi, karya tersebut dapat dianggap sebagai hasil kolaborasi dan layak mendapatkan perlindungan hak cipta.
SmartLegal |
FHUI

2. Kekosongan Hukum dan Tantangan

Saat ini, belum ada regulasi khusus di Indonesia yang mengatur secara eksplisit tentang hak cipta karya yang dihasilkan oleh AI. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para kreator yang menggunakan AI dalam proses kreatif mereka.
HukumOnline

🤖 Kebijakan Penyedia Alat Generatif AI

1. ChatGPT (OpenAI)

OpenAI menyatakan bahwa pengguna memiliki hak atas konten yang dihasilkan oleh ChatGPT, termasuk gambar. Namun, pengguna tetap bertanggung jawab untuk memastikan bahwa penggunaan konten tersebut tidak melanggar hak cipta pihak ketiga.
Botpress

2. Leonardo.Ai

Leonardo.Ai memungkinkan pengguna untuk menggunakan gambar yang dihasilkan untuk keperluan komersial. Namun, mereka juga menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk menggunakan, menyalin, dan mendistribusikan konten yang dihasilkan untuk tujuan pengembangan dan promosi layanan mereka.
Leonardo FAQ

3. Bing AI Image Creator (Microsoft)

Microsoft awalnya membatasi penggunaan gambar yang dihasilkan oleh Bing AI Image Creator hanya untuk keperluan pribadi dan non-komersial. Namun, kebijakan ini telah berubah, dan saat ini pengguna dapat menggunakan gambar tersebut untuk keperluan komersial dengan risiko sendiri.
Medium

⚠️ Rekomendasi untuk Kreator

  • Periksa Ketentuan Layanan: Sebelum menggunakan alat generatif AI, baca dan pahami ketentuan layanan serta kebijakan hak cipta dari penyedia layanan tersebut.
  • Hindari Pelanggaran Hak Cipta: Jangan menggunakan gaya atau elemen dari karya yang dilindungi hak cipta tanpa izin. Misalnya, meniru gaya Studio Ghibli dapat menimbulkan masalah hukum.
    AP News
  • Dokumentasikan Proses Kreatif: Simpan catatan tentang bagaimana Anda menggunakan AI dalam proses kreatif, termasuk prompt yang digunakan dan modifikasi yang dilakukan.

🌍 Bagaimana Negara-Negara Besar Mengatur Hak Cipta Gambar AI?

Dengan semakin masifnya penggunaan generative AI untuk menciptakan gambar, muncul pertanyaan penting: apakah karya tersebut memiliki perlindungan hak cipta? Berikut ini adalah ringkasan pendekatan beberapa negara besar mengenai isu ini, dilengkapi referensi terpercaya.

🇺🇸 Amerika Serikat: Wajib Ada Keterlibatan Manusia

Di Amerika Serikat, pengadilan telah menegaskan bahwa karya yang dihasilkan sepenuhnya oleh AI tidak dapat dilindungi hak cipta, karena tidak ada “pengarang manusia.” Namun, jika ada kontribusi kreatif manusia, seperti menyusun prompt atau menyunting hasilnya, perlindungan hak cipta bisa diberikan.
Reuters |
AP News

🇬🇧 Inggris: Kompensasi Melalui Lisensi Kolektif

Pemerintah Inggris memperkenalkan skema lisensi kolektif agar penulis mendapatkan kompensasi jika karya mereka digunakan untuk melatih AI. Ini menjawab kekhawatiran atas praktik penambangan data yang dapat merugikan pemilik hak cipta.
The Guardian

🇨🇳 Tiongkok: Melindungi Karya AI yang Ada Unsur Kreatif Manusia

Pengadilan di Beijing mengakui bahwa gambar dari AI bisa mendapat hak cipta jika prosesnya melibatkan “investasi intelektual” manusia. Dalam kasus penggunaan Stable Diffusion, pengadilan mengakui kepemilikan karya karena manusia secara aktif mengarahkan hasil.
China Justice Observer

🇯🇵 Jepang: Masih dalam Tahap Diskusi

Jepang belum memiliki regulasi tegas soal hak cipta atas karya AI. Namun, diskusi publik dan hukum sedang berlangsung, terutama untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan hak seniman manusia.

🇪🇺 Uni Eropa: Transparansi Data Latih AI

Uni Eropa berfokus pada regulasi yang mewajibkan pengembang AI untuk transparan soal data latih yang digunakan. Meski belum spesifik soal hak cipta karya AI, pendekatan ini bertujuan melindungi hak pemilik data dan mendorong etika AI.
EU AI Act Proposal

🔍 Kesimpulan

Regulasi hak cipta atas karya AI terus berkembang dan berbeda di setiap negara. Amerika Serikat dan Inggris menekankan keterlibatan manusia dan kompensasi, Tiongkok lebih terbuka dengan kontribusi kreatif, sementara Uni Eropa dan Jepang menekankan etika dan transparansi. Sebagai kreator, penting untuk memahami yurisdiksi tempat Anda berkarya dan menyesuaikan strategi legal Anda.

📊 Tabel Perbandingan Regulasi Hak Cipta atas Karya AI di Berbagai Negara

Negara Status Perlindungan Hak Cipta untuk Gambar AI Kontribusi Manusia Kebijakan Khusus Referensi
Indonesia Belum ada regulasi spesifik tentang karya AI, namun UU No. 28 Tahun 2014 menyatakan bahwa hak cipta diberikan kepada ciptaan yang dihasilkan oleh kemampuan, daya pikir, daya cipta, dan keahlian manusia. Wajib ada kontribusi manusia yang nyata (bukan sepenuhnya oleh sistem otomatis) Karya murni dari AI tidak termasuk dalam subjek hak cipta.
Namun, jika manusia mengolah, menyunting, atau mengarahkan secara kreatif hasil AI, bisa dikategorikan sebagai ciptaan yang dilindungi.
UU Hak Cipta 2014 (bpk.go.id)
Amerika Serikat Tidak dilindungi jika sepenuhnya dibuat AI Wajib ada keterlibatan manusia Hanya karya dengan “pengarang manusia” yang bisa dilindungi Reuters
Inggris Fokus pada kompensasi, bukan larangan Tidak wajib, tapi diatur dalam lisensi kolektif Lisensi kolektif untuk melindungi penulis The Guardian
Tiongkok Dapat dilindungi jika ada kontribusi kreatif manusia Wajib ada investasi intelektual manusia Putusan pengadilan mengakui hak cipta karya AI China Justice Observer
Jepang Belum ada regulasi tegas Masih dalam diskusi Masih menimbang pendekatan terbaik
Uni Eropa Fokus pada regulasi penggunaan AI Diatur dalam konteks transparansi Wajib ungkap data pelatihan AI EU AI Act

Catatan: Interpretasi hukum di Indonesia dapat berkembang seiring dinamika teknologi dan pembaruan regulasi. Perlu ada penafsiran lanjut oleh lembaga yang berwenang seperti DJKI atau Mahkamah Agung bila terjadi sengketa.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca.

Mengapa Widyaiswara Perlu Membangun Reputasi Digital?

Mengapa Widyaiswara Perlu Membangun Reputasi Digital?

Minggu malam. Langit mulai gelap, kopi tinggal ampas, dan notifikasi kerja sudah mulai mengintip-intip dari balik layar. Sambil menatap sisa camilan yang gagal diet, saya bertanya pada diri sendiri:

“Jejak digital saya, sudah ada belum ya? Atau jangan-jangan masih ngumpet di folder laptop bernama ‘Final-Final-Semoga-Bener’?”

🧠 Bukan Hanya Soal Eksis, tapi Kredibel

Di zaman sekarang, katanya kalau kita nggak bisa dicari di Google, kita belum eksis. Tapi sebagai widyaiswara, urusannya bukan cuma eksis, tapi juga eksis dengan isi.

Reputasi digital bukan soal narsis upload semua kegiatan. Tapi soal mendokumentasikan kontribusi profesional secara konsisten dan terbuka. Tom Peters (1997) menyebut ini sebagai bagian dari personal branding—membangun citra profesional yang otentik.

McKinsey & Company (2022) juga bilang: reputasi digital yang kuat bisa membuka peluang kolaborasi lintas sektor. Alias, makin banyak orang tahu apa yang kita kerjakan, makin besar kemungkinan diajak kerja bareng.

🔍 Widyaiswara Bukan Sekadar Ngajar

Sekarang, widyaiswara itu bukan cuma “guru PNS” yang ngasih pelatihan. Kita juga:

  • Kurator ilmu (bukan cuma kolektor slide),
  • Katalis perubahan (bukan cuma pengamat),
  • Influencer praktik baik (tanpa perlu joget di TikTok).

Website pribadi, blog, atau bahkan akun LinkedIn bisa jadi lemari kaca digital kita. Isinya? Refleksi, materi, modul, ide, dan semangat berbagi.

Bayangkan kalau semua widyaiswara:

  • Nulis catatan pelatihan mingguan
  • Bagi-bagi materi via link
  • Punya halaman “tentang saya” yang hidup dan informatif

Referensinya disini:

🛠️ Langkah Kecil, Dampak Besar (Asal Konsisten)

Jangan keburu panik harus langsung punya web canggih. Saya mulai dari hal sederhana:

  • Menulis satu refleksi mingguan (kayak begini)
  • Rapihin folder pelatihan
  • Bikin draft halaman profil: siapa saya, ngapain aja, dan bisa dihubungi lewat apa

🌱 Rencana Aksi Minggu Ini: #PelanTapiPosting

  • Senin: Tulis 3 kalimat bio profesional
  • Selasa: Pilih 5 materi pelatihan yang layak tayang
  • Rabu: Buka LinkedIn, hidupkan lagi
  • Kamis: Tulis artikel mini reflektif
  • Jumat: Coba rekam video pendek
  • Sabtu: Sketsa awal website pribadi
  • Minggu: Publikasi halaman profil + artikel pertama

📝 Bukan Pamer, Tapi Pamit pada Ketertutupan

Website bukan soal pamer. Tapi soal pamit: pamit pada kebiasaan menyimpan semua ilmu sendirian. Dan pamit pada identitas profesional yang cuma hidup di ruang pelatihan.

Sebagai widyaiswara, kita punya ilmu, pengalaman, dan nilai. Dan sekarang saatnya, kita juga punya jejak digital—sebagai bentuk tanggung jawab untuk berbagi dan berkembang.

☕ Jadi, selamat menutup akhir pekan. Mari kita isi minggu ini dengan satu langkah kecil menuju eksistensi digital yang bermakna.

Artikel ini ditulis dengan dukungan teknologi AI untuk efisiensi, namun seluruh konten telah dikembangkan, dikurasi, dan diedit oleh penulis agar sesuai dengan kebutuhan pembaca. dengan bantuan AI, Anda juga bisa menulis seperti ini!

“Menolak Tua” – Sebuah Catatan Refleksi

“Menolak Tua” – Sebuah Catatan Refleksi

Hari ini, saya mengalami momen kecil tapi cukup menggugah: melihat foto diri saat rapat.Sekilas biasa saja. Tapi ada sesuatu yang terasa “berbeda”. Uban mulai tampak jelas, raut wajah tidak segar seperti dulu, dan ketika turun dari KRL, kaki terasa pegal, pinggang kaku. Rasanya seperti tubuh sedang menyampaikan sesuatu:

“Hei, kamu memang masih muda dalam semangat, tapi tubuhmu mulai menunjukkan tanda-tanda realitas usia.”

Saya pun bertanya dalam hati,
“Apakah saya menolak tua?”

🔎 Antara Semangat Muda dan Realitas Usia

Di tengah aktivitas bersama tim, saya menyadari satu hal penting: saya tidak lagi termasuk ‘junior’. Saya tergolong senior, dan itu berarti banyak hal—dari ekspektasi kedewasaan dalam memimpin hingga kemampuan merancang solusi yang matang.

Pertanyaannya muncul:

  • Apakah wajar merasa begini?
  • Apakah orang lain juga diam-diam merasakan hal serupa?

👨‍🏫 Maslow & Erikson: Perspektif Psikologi Perkembangan

Menurut Erik Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan, kita melewati tahap-tahap krisis identitas sepanjang hidup. Di usia dewasa menengah (40-65 tahun), kita berada di fase yang disebut:

Generativity vs. Stagnation – Sebuah pertarungan antara ingin terus memberi dampak (generativity) atau merasa kehilangan arah (stagnation).

Artinya? Perasaan seperti ini sangat normal. Kita mulai menilai kembali kontribusi kita. Kita ingin memastikan bahwa semua yang sudah dilakukan bermakna. Kita ingin “meninggalkan jejak”.

Sementara itu, Abraham Maslow melalui teorinya Hierarchy of Needs, menunjukkan bahwa di level tertinggi kebutuhan manusia ada “self-actualization” – kebutuhan untuk menjadi versi terbaik diri sendiri. Maka, wajar jika di usia sekarang kita mulai bertanya:

  • “Saya sudah sejauh mana berkembang?”
  • “Sudah siapkah saya menghadapi masa pensiun?”
  • “Apa warisan pemikiran, karya, atau nilai yang bisa saya tinggalkan?”

🔗 Referensi Teori:

💬 Menolak Tua: Sebuah Narasi yang Manusiawi

“Menolak tua” bukan berarti menyangkal kenyataan. Tapi itu bisa menjadi ungkapan bahwa:

  • Kita masih punya semangat belajar dan berkarya
  • Kita ingin tetap relevan
  • Kita ingin memberi kontribusi terbaik hingga titik akhir

Dan ya, tubuh memang mulai berubah. Tapi jiwa kita bisa tetap muda—kalau kita punya tujuan.

🛠️ Sudah Siapkah Saya Menuju Masa Pensiun?

Inilah pertanyaan paling jujur dari hari ini.

Jawabannya mungkin belum sepenuhnya. Tapi yang jelas, refleksi ini adalah langkah awal. Persiapan tidak hanya tentang finansial, tapi juga tentang makna:

  • Apa yang ingin saya kerjakan setelah pensiun?
  • Apa yang membuat saya terus merasa hidup dan dibutuhkan?
  • Bagaimana saya bisa tetap bermanfaat?

💡Hidup Ini Bukan Tentang Menolak Tua, Tapi Menyambut Fase Baru

Hari ini saya belajar satu hal:

Tua itu pasti. Tapi tumbuh itu pilihan.

Saya tidak ingin hanya menjadi lebih tua, tapi lebih bijak, lebih memberi, lebih siap, dan lebih bermakna. Dan itu hanya bisa dimulai kalau saya berani jujur pada diri sendiri—seperti hari ini.

📌 Catatan untuk diri sendiri:

“Mulailah mencatat, merancang, dan membayangkan hidup setelah pensiun. Tidak harus besar. Tapi harus bermakna.”

Ketika Cerita Berhenti Ditulis

Ketika Cerita Berhenti Ditulis

Dalam setiap langkah kehidupan, kita sering kali menemukan cerita-cerita yang seakan mengendap begitu saja di sudut ruang hati dan ingatan. Hari ini, saya mendapatkan sebuah cerita dari seorang teman yang pernah sangat aktif menulis artikel dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, semangatnya meredup, langkahnya terhenti—bukan karena kehilangan bakat atau minat, melainkan karena perubahan lingkungan dan pergeseran orientasi hidup: pekerjaan, keluarga, dan rutinitas yang menyita.

Cerita ini memantik refleksi dalam diri saya. Bagaimana manusia sering kali harus memilih antara idealisme dan kenyataan, antara passion dan tanggung jawab. Namun di balik semua itu, ada pelajaran penting tentang bagaimana kita bisa tetap bertumbuh, bahkan saat dunia di sekitar kita berubah.

Cerita yang Menggetarkan: Sebuah Inspirasi yang Tertunda

Teman saya bercerita dengan mata yang tampak menyala, tetapi juga mengandung kerinduan. Dulu, menulis adalah bagian dari jiwanya. Artikel demi artikel ia tulis, menghadiri diskusi, memberi pelatihan, hingga menginisiasi gerakan sosial di komunitasnya. Ia tumbuh bukan hanya dalam pengetahuan, tetapi dalam kontribusi nyata untuk masyarakat.

Namun, kini ia merasa “jauh dari dirinya sendiri”. Beban pekerjaan yang menuntut target, peran keluarga yang semakin kompleks, dan lingkungan yang tak lagi mendukung semangat berkarya—semua itu perlahan membuatnya berhenti. “Aku rindu versi diriku yang dulu,” katanya lirih.

Kalimat itu menghentak saya. Betapa banyak dari kita yang mungkin merasakan hal yang sama: tersesat dalam rutinitas, terasing dari mimpi-mimpi kita sendiri.

Makna dan Refleksi Diri

Dari cerita itu, saya belajar bahwa kompetensi seseorang tidak hanya dibentuk dari pelatihan dan pendidikan formal, tetapi juga dari ketulusan untuk terus bertanya: “Apakah aku masih menjadi versi terbaik dari diriku sendiri?”

Cerita ini mengajarkan saya tiga hal penting:

  1. Lingkungan bisa berubah, tetapi nilai dalam diri harus tetap dijaga.
    Dunia di sekitar kita akan terus bergerak. Namun, prinsip hidup, passion, dan nilai-nilai pribadi adalah kompas yang harus terus dijaga agar tidak kehilangan arah.
  2. Kompetensi tidak selalu tentang keahlian teknis, tetapi juga ketahanan emosional.
    Mampu bertahan, bangkit dari kehilangan arah, dan menemukan kembali jati diri adalah bentuk kompetensi yang esensial namun sering dilupakan.
  3. Berhenti bukan berarti gagal.
    Kadang, jeda dibutuhkan agar kita bisa menata ulang napas dan niat. Seperti gunung yang tampak diam, namun dalam diamnya, ia sedang membentuk letusan energi besar yang kelak membentuk lanskap baru.

Komitmen untuk Bertumbuh

Saya menyadari bahwa kisah teman saya adalah pengingat. Bahwa setiap orang punya potensi untuk bangkit kembali. Dan saya, sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat, harus terus mengasah kompetensi saya—bukan hanya agar unggul di bidang profesional, tapi agar tidak kehilangan “api dalam diri”.

Hari ini saya belajar bahwa kompetensi adalah kesetiaan pada panggilan jiwa. Maka saya berjanji pada diri sendiri untuk:

  • Menulis kembali, walau satu paragraf sehari.
  • Membaca ulang cerita-cerita lama yang pernah saya tulis, sebagai jembatan menuju semangat yang pernah menyala.
  • Membuka ruang dialog dengan orang-orang yang dulu pernah menjadi bagian dari perjalanan inspiratif saya.
  • Terus belajar, terus berbagi, dan terus bertumbuh—meski perlahan.

Cerita hari ini bukan sekadar kisah tentang seseorang yang berhenti menulis. Ini adalah cerita tentang kita semua—yang kadang terjebak dalam pusaran kehidupan. Tapi jika kita mau sejenak berhenti, mendengarkan, dan merefleksikan, maka setiap cerita bisa menjadi cermin. Dan dari cermin itulah kita bisa menemukan kembali jalan untuk menjadi pribadi yang terus bertumbuh dan bermakna.

Learning Journal ini terinspirasi dari sahabat belajar: @SaungLimbung
Terima kasih telah berbagi kisah yang menyentuh hati dan membuka ruang refleksi. Setiap cerita punya kekuatan, dan kisahmu menjadi lentera kecil yang menuntun langkah kami untuk terus menulis, tumbuh, dan bermakna.

 

New title
Hubungi Indra, Klik disini!

Terima kasih sudah berkunjung ke indrapedia.com!

Sahabat Belajar

Kang Indra

Online

Kang IndraBersama Indra dari Indrapedia

Hai, ada yang bisa saya bantu? 00.00