“Kadang jalan yang tampak memutar justru membawa kita tiba paling tepat waktu.”
Di grup alumni, saya sering menerima candaan, “Indra ini sarjana hukum yang tersesat.” Saya hanya tersenyum. Dalam hati, saya tahu: saya tidak tersesat saya sedang menemukan jalan baru untuk menegakkan keadilan belajar.
Sepulang kerja, di perkuliahan malam kelas karyawan, Saya pernah mengajar mata kuliah Aspek Hukum dalam Bisnis, saya berniat menjaga agar pengetahuan serta keterampilan hukum saya tetap lestari. Namun kini, makna “lestari hukum” bagi saya telah berubah. Ia bukan lagi tentang menjaga hukum tetap hidup di ruang kuliah, tapi tentang bagaimana semangat hukum ikut menuntun perubahan sosial dan teknologi dalam dunia pembelajaran.
“Hukum itu bukan hanya aturan tertulis, melainkan sarana untuk membangun dan menuntun perubahan masyarakat.”
— Prof. Mochtar Kusumaatmadja
Konsep hukum sebagai sarana pembangunan yang diperkenalkan Prof. Mochtar Kusumaatmadja terasa sangat relevan dengan perjalanan saya hari ini. Sebagai Widyaiswara, saya melihat bahwa pembelajaran juga adalah bentuk pembangunan manusia.
Hukum yang adaptif terhadap zaman tidak cukup berhenti pada teks undang-undang; ia harus hidup dalam perilaku, etika, dan inovasi.
Begitu pula dengan pembelajaran tidak boleh kaku pada metode lama, tapi harus berani berubah, menyesuaikan diri dengan zaman digital yang terus bergerak.
Banyak teman lama bertanya,
“Kenapa kamu tidak fokus saja di dunia hukum?”
Pertanyaan itu dulu membuat saya ragu. Bahkan, di awal karier saya, pernah ada rekan kerja yang berkata dengan nada heran:
“Lulusan S2 Fakultas Hukum ngapain jadi Bendahara?”
Kalimat itu sempat menancap di hati. Saya sempat merasa kecil, bahkan bertanya pada diri sendiri: “Sebodoh itu kah saya, hingga gelar yang saya perjuangkan tidak tampak berguna?”
Namun, waktu mengajarkan satu hal penting: dunia kerja tidak selalu linier dengan bangku kuliah. Terkadang, tangga karier tidak dibangun dari kesesuaian bidang, melainkan dari kesediaan untuk belajar hal baru dan tetap bermakna di manapun kita ditempatkan.
Pengalaman menjadi Bendahara, mengelola keuangan, dan menjalankan tanggung jawab administrasi justru melatih saya berpikir sistematis, teliti, dan jujur; nilai yang juga esensial dalam hukum.
Dan ketika akhirnya saya masuk dunia pelatihan, saya menyadari: semua pengalaman itu bukan kesalahan arah, tetapi bagian dari proses hukum kehidupan, proses belajar yang membentuk kedewasaan profesional.
Kini saya memahami, bahwa rasa rendah diri hanyalah bab kecil dari perjalanan menuju percaya diri yang sejati. Saya mulai menata ulang cara saya bekerja dan belajar menggunakan logika hukum, analitis, berbasis bukti, dan beretika dalam setiap rancangan pembelajaran, mengembangkan teknik presentasi ilmiah, media digital, dan metode pembelajaran interaktif serta dalam memanfaatkan AI untuk meningkatkan produktivitas,
Namun, lebih dari sekadar penggunaan alat, saya menjadikan AI sebagai objek refleksi dan pembelajaran etika. Saya mengajarkan bahwa AI harus digunakan dengan kesadaran hukum: transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab.
Bagi saya, inilah implementasi nyata dari konsep hukum pembangunan ala Mochtar Kusumaatmadja:
Hukum bukan hanya mengatur perubahan, tetapi menjadi sarana untuk menuntun arah perubahan.
Sebagai Widyaiswara, saya menjalankan hukum bukan dalam teks normatif, melainkan dalam praktik pendidikan digital yang beretika dan berkeadilan.
Kini, saya tidak lagi merasa “tersesat” dari bidang hukum.
Saya merasa sedang menjalankan hukum dalam wujud yang lebih hidup bukan di ruang sidang, tetapi di ruang belajar. Saya menegakkan keadilan belajar: memastikan bahwa setiap peserta pelatihan mendapatkan akses yang adil, pembelajaran yang relevan, dan panduan etika yang kuat dalam beradaptasi dengan teknologi.
Saya memahami kini bahwa lestarinya hukum bukan karena ia dihafalkan, tetapi karena ia dihidupkan dalam konteks baru.
Dan bagi saya, konteks itu adalah dunia pembelajaran digital dan etika pemanfaatan AI.
Penafian (Disclaimer)
Tulisan ini disusun dengan bantuan AI sebagai mitra berpikir, bukan pengganti penulis. Seluruh isi learning journal ini merupakan bagian dari proses kreatif dan berpikir kritis Indra Riswadinata dalam menyeimbangkan kolaborasi antara manusia dan teknologi. Setiap gagasan dan kesimpulan telah divalidasi secara sadar dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan ini juga merefleksikan hasil pembelajaran dari berbagai referensi yang penulis olah dengan dukungan AI untuk memperjelas ide dan mempercepat proses penulisan termasuk pembuatan gambar sampul dalam tulisan ini.
Apabila terdapat hal yang ingin ditanyakan, dikonfirmasi, atau didiskusikan lebih lanjut, silakan hubungi saya melalui tombol chat WhatsApp di pojok kanan website ini.







