“AI, Siapa yang Sebenarnya Kita Percaya?”
Saya tertegun membaca sebuah riset menarik dari Government Information Quarterly berjudul “Artificial Intelligence in Public Services: When and Why Citizens Accept Its Usage” (Gesk & Leyer, 2022).
Kalimat pembukanya sederhana tapi menampar kesadaran saya sebagai ASN dan Widyaiswara:
“AI bisa diterima masyarakat, tapi tidak di semua layanan.”
Penelitian ini menunjukkan bahwa warga lebih percaya AI untuk urusan publik yang bersifat umum, seperti pengawasan jembatan atau prediksi kebakaran, namun lebih memilih manusia untuk layanan yang menyentuh aspek pribadi seperti pendidikan, kesehatan, atau bantuan sosial.
Saya pun bertanya dalam hati:
Apakah kita, para ASN, benar-benar siap menerima kehadiran AI dalam pelayanan publik?
Dan lebih jauh lagi, apakah kita sudah mempersiapkan kompetensi ASN agar mampu bekerja berdampingan dengan mesin cerdas tanpa kehilangan sisi manusiawinya?
Ketika Teknologi Melaju, Sementara Kepercayaan Tertinggal
Riset Gesk & Leyer mengingatkan bahwa masalah penerimaan teknologi bukan pada mesinnya, tapi pada manusianya.
AI dianggap efisien dan objektif, namun tetap menimbulkan tiga keresahan utama:
-
Kurangnya pemahaman publik.
Banyak warga belum tahu bagaimana AI membuat keputusan — siapa yang mengawasi algoritmanya, dan apa jaminannya untuk tidak bias? -
Hilangnya kontrol manusia.
Ketika sistem mulai memutuskan, muncul rasa cemas: “Apakah suara saya masih didengar?” -
Rasa tidak percaya pada konteks personal.
Dalam urusan yang membutuhkan empati — diagnosis penyakit, penilaian kinerja, atau layanan pendidikan — warga masih ingin ada sentuhan manusia.
Di titik ini, saya merenung: kita sering bicara transformasi digital ASN, tapi kadang lupa bahwa kepercayaan adalah infrastruktur paling dasar dalam setiap inovasi.
Tanpa trust, teknologi secanggih apa pun akan terasa dingin dan jauh dari hati masyarakat.
Membangun Ruang Kolaborasi antara AI dan Nurani
Gesk & Leyer menggunakan Behavioral Reasoning Theory (BRT), untuk menjelaskan penerimaan atau penolakan AI.
Pendekatannya menyoroti bahwa keputusan warga untuk menerima AI lebih dipengaruhi oleh alasan terhadap penolakan (reasons against) daripada alasan penerimaan.
Hasil studi eksperimental dengan 329 responden di Australia menunjukkan bahwa:
-
Untuk layanan spesifik, AI cenderung ditolak karena dianggap menghilangkan aspek empati dan hak partisipasi warga.
-
Untuk layanan umum, AI lebih diterima karena dianggap efisien, transparan, dan bebas bias emosional.
Solusi kebijakan yang diusulkan:
-
Tingkatkan transparansi dan edukasi publik tentang cara kerja AI.
-
Libatkan warga dalam co-creation layanan digital.
-
Terapkan AI secara bertahap—dimulai dari layanan umum sebelum merambah layanan individual.
Pelajaran Bagi Widyaiswara dan Pengembangan Kompetensi ASN
Sebagai Widyaiswara, saya membaca riset ini bukan sekadar sebagai laporan ilmiah, tapi sebagai cermin profesi.
Riset ini menegaskan satu hal: transformasi digital dalam pelayanan publik tidak akan berhasil tanpa transformasi manusia di baliknya.
Bagi kita yang bertugas mengembangkan kompetensi ASN, maknanya jelas:
-
AI adalah mitra belajar, bukan pengganti pengajar.
Sistem cerdas bisa membantu menganalisis kebutuhan belajar peserta, menyesuaikan modul, bahkan memberi umpan balik otomatis. Namun, tugas menumbuhkan nilai, empati, dan refleksi tetap milik manusia. -
Tugas Widyaiswara kini bergeser dari ‘penyampai materi’ menjadi ‘perancang pengalaman belajar’ — yang memadukan teknologi dengan pendekatan humanistik.
-
Program pengembangan kompetensi ASN harus menumbuhkan “trust literacy”, bukan hanya digital literacy.
ASN perlu memahami bagaimana AI bekerja, tapi juga bagaimana menjaga kepercayaan publik di tengah perubahan teknologi.
Bagi saya, pelajaran paling kuat dari riset ini adalah kesadaran bahwa pelayanan publik berbasis AI bukan tentang menggantikan manusia, tapi tentang memperkuat kemanusiaan dengan bantuan teknologi.
Referensi : https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0740624X22000375?ref=pdf_download&fr=RR-2&rr=996a6a45ab172ce1
Penafian (Disclaimer)
Tulisan ini disusun dengan bantuan AI sebagai mitra berpikir, bukan pengganti penulis. Seluruh isi learning journal ini merupakan bagian dari proses kreatif dan berpikir kritis Indra Riswadinata dalam menyeimbangkan kolaborasi antara manusia dan teknologi. Setiap gagasan dan kesimpulan telah divalidasi secara sadar dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan ini juga merefleksikan hasil pembelajaran dari berbagai referensi yang penulis olah dengan dukungan AI untuk memperjelas ide dan mempercepat proses penulisan termasuk pembuatan gambar sampul dalam tulisan ini.
Apabila terdapat hal yang ingin ditanyakan, dikonfirmasi, atau didiskusikan lebih lanjut, silakan hubungi saya melalui tombol chat WhatsApp di pojok kanan website ini.







