“Menolak Tua” – Sebuah Catatan Refleksi

“Menolak Tua” – Sebuah Catatan Refleksi

Hari ini, saya mengalami momen kecil tapi cukup menggugah: melihat foto diri saat rapat.Sekilas biasa saja. Tapi ada sesuatu yang terasa “berbeda”. Uban mulai tampak jelas, raut wajah tidak segar seperti dulu, dan ketika turun dari KRL, kaki terasa pegal, pinggang kaku. Rasanya seperti tubuh sedang menyampaikan sesuatu:

“Hei, kamu memang masih muda dalam semangat, tapi tubuhmu mulai menunjukkan tanda-tanda realitas usia.”

Saya pun bertanya dalam hati,
“Apakah saya menolak tua?”

🔎 Antara Semangat Muda dan Realitas Usia

Di tengah aktivitas bersama tim, saya menyadari satu hal penting: saya tidak lagi termasuk ‘junior’. Saya tergolong senior, dan itu berarti banyak hal—dari ekspektasi kedewasaan dalam memimpin hingga kemampuan merancang solusi yang matang.

Pertanyaannya muncul:

  • Apakah wajar merasa begini?
  • Apakah orang lain juga diam-diam merasakan hal serupa?

👨‍🏫 Maslow & Erikson: Perspektif Psikologi Perkembangan

Menurut Erik Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan, kita melewati tahap-tahap krisis identitas sepanjang hidup. Di usia dewasa menengah (40-65 tahun), kita berada di fase yang disebut:

Generativity vs. Stagnation – Sebuah pertarungan antara ingin terus memberi dampak (generativity) atau merasa kehilangan arah (stagnation).

Artinya? Perasaan seperti ini sangat normal. Kita mulai menilai kembali kontribusi kita. Kita ingin memastikan bahwa semua yang sudah dilakukan bermakna. Kita ingin “meninggalkan jejak”.

Sementara itu, Abraham Maslow melalui teorinya Hierarchy of Needs, menunjukkan bahwa di level tertinggi kebutuhan manusia ada “self-actualization” – kebutuhan untuk menjadi versi terbaik diri sendiri. Maka, wajar jika di usia sekarang kita mulai bertanya:

  • “Saya sudah sejauh mana berkembang?”
  • “Sudah siapkah saya menghadapi masa pensiun?”
  • “Apa warisan pemikiran, karya, atau nilai yang bisa saya tinggalkan?”

🔗 Referensi Teori:

💬 Menolak Tua: Sebuah Narasi yang Manusiawi

“Menolak tua” bukan berarti menyangkal kenyataan. Tapi itu bisa menjadi ungkapan bahwa:

  • Kita masih punya semangat belajar dan berkarya
  • Kita ingin tetap relevan
  • Kita ingin memberi kontribusi terbaik hingga titik akhir

Dan ya, tubuh memang mulai berubah. Tapi jiwa kita bisa tetap muda—kalau kita punya tujuan.

🛠️ Sudah Siapkah Saya Menuju Masa Pensiun?

Inilah pertanyaan paling jujur dari hari ini.

Jawabannya mungkin belum sepenuhnya. Tapi yang jelas, refleksi ini adalah langkah awal. Persiapan tidak hanya tentang finansial, tapi juga tentang makna:

  • Apa yang ingin saya kerjakan setelah pensiun?
  • Apa yang membuat saya terus merasa hidup dan dibutuhkan?
  • Bagaimana saya bisa tetap bermanfaat?

💡Hidup Ini Bukan Tentang Menolak Tua, Tapi Menyambut Fase Baru

Hari ini saya belajar satu hal:

Tua itu pasti. Tapi tumbuh itu pilihan.

Saya tidak ingin hanya menjadi lebih tua, tapi lebih bijak, lebih memberi, lebih siap, dan lebih bermakna. Dan itu hanya bisa dimulai kalau saya berani jujur pada diri sendiri—seperti hari ini.

📌 Catatan untuk diri sendiri:

“Mulailah mencatat, merancang, dan membayangkan hidup setelah pensiun. Tidak harus besar. Tapi harus bermakna.”

Share on Whatsapp
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
New title
Hubungi Indra, Klik disini!

Terima kasih sudah berkunjung ke indrapedia.com!

Sahabat Belajar

Kang Indra

Online

Kang IndraBersama Indra dari Indrapedia

Hai, ada yang bisa saya bantu? 00.00