Apakah kebahagiaan kita diukur dari jumlah like atau dari ketenangan yang ada di dada?
Pagi ini saya teringat bahwa ketenangan batin , merasa cukup dan damai adalah target yang lebih mulia daripada pencapaian yang membuat lelah.
Keyakinan bahwa rezeki dan jalan hidup ditetapkan Allah memberi saya alasan untuk menenangkan langkah, bukan mempercepatnya.
Mengapa kita merasa tidak tenang dan selalu kurang?
Saya menyadari beberapa sumber kegelisahan itu bukan hanya kebiasaan pribadi, tetapi dipicu oleh cara kita hidup hari-hari ini:
- Asumsi pribadi yang keliru, menganggap kebahagiaan setara dengan kepemilikan atau pencapaian.
- Prasangka dan penilaian, mudah mengambil kesimpulan bahwa hidup orang lain ‘lebih enak’ tanpa tahu prosesnya.
- Membandingkan diri lewat media sosial, tampilan ‘sukses’ orang lain di feed memicu perbandingan naik-turun yang membuat hati gelisah.
- Ingin serba cepat (instan), harapan hasil langsung membuat kita tidak sabar menikmati proses.
- Kurang bersyukur , perhatian tertuju pada kekurangan, bukan nikmat sederhana yang ada.
Bukti riset menunjukkan hubungan antara penggunaan media sosial yang tinggi dengan rasa keterasingan sosial dan kecenderungan merasa terisolasi.
Sumber: PubMed, PMC
Mungkin kita pernah scrolling IG di pagi hari, melihat foto teman berlibur, lalu semalaman tidur gelisah, padahal keesokan harinya kita punya waktu berkualitas untuk keluarga yang sebenarnya kita hargai.
Organisasi kesehatan dan lembaga penelitian menyarankan kehati-hatian karena paparan konten idealisasi di media sosial dapat mengubah cara pandang terhadap kehidupan orang lain dan diri sendiri.
Sumber: American Psychological Association
Refleksi Perilaku Nyata Sehari-hari
Ketenangan bukanlah hasil dari hal-hal besar, melainkan dari kebiasaan kecil yang konsisten. Setiap malam, ketika kita menuliskan tiga hal sederhana yang patut disyukuri seperti secangkir teh hangat, tawa keluarga, atau tugas yang terselesaikan hati kita terasa lebih ringan. Kebiasaan ini mengingatkan kita bahwa nikmat Allah hadir dalam bentuk yang sering kali terlewatkan.
Saat rasa iri muncul, kita bisa berhenti sejenak, menarik napas dalam, menahannya, lalu melepas perlahan sembari berucap “Alhamdulillah”. Latihan napas sederhana ini menjadi pengingat bahwa hati dapat dikendalikan dengan kesadaran, bukan dibiarkan hanyut oleh emosi. Kita pun dapat membatasi waktu bersama media sosial: notifikasi dimatikan, dan aplikasi hanya dibuka di waktu yang telah kita tentukan. Dengan cara ini, kita lebih mampu menjaga fokus dan tidak terjebak dalam arus informasi yang tak pernah berhenti.
Lebih jauh, bijaklah dalam mengonsumsi konten. Alih-alih mengikuti akun yang memicu rasa iri, mari memilih akun yang menghadirkan inspirasi sederhana: doa, ilmu, atau kisah kebaikan. Perubahan kecil dalam pilihan tontonan ini mampu membawa pengaruh besar pada ketenangan hati kita.
Refleksi Reframing Kognitif & Keyakinan
Sering kali, saat melihat pencapaian orang lain, pikiran kita terbawa pada kesimpulan yang keliru: seolah-olah hidup mereka jauh lebih indah. Namun kita perlu mengingatkan diri bahwa apa yang ditampilkan di layar hanyalah potongan momen terbaik, bukan keseluruhan perjuangan. Mereka mungkin memperlihatkan hasil, tetapi kita tidak melihat proses panjang penuh air mata dan kerja keras di baliknya.
Yang lebih penting, kita harus kembali pada keyakinan dasar: rezeki setiap orang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Tugas kita hanyalah berusaha dengan sungguh-sungguh, sementara hasilnya berada di tangan-Nya. Keyakinan ini menenangkan kita, karena hidup bukanlah kompetisi dengan orang lain, melainkan perjalanan pribadi yang diatur dengan penuh hikmah.
Refleksi Strategi Digital Berbasis Bukti
Ada pula strategi sederhana untuk mengendalikan diri secara digital. Misalnya, kita bisa mengambil jeda 24 jam tanpa media sosial sekali seminggu. Awalnya mungkin terasa sulit, seolah ada yang hilang. Namun, setelah dijalani, justru muncul rasa lega dan ruang baru untuk berfokus pada hal-hal nyata: membaca, menulis, atau sekadar bercakap dengan keluarga.
Selain itu, kita dapat lebih selektif dalam mengatur tampilan feed. Akun-akun yang membuat kita mudah membandingkan diri, bisa kita mute atau sembunyikan. Studi dari PMC menunjukkan bahwa intervensi sederhana seperti ini efektif mengurangi dampak negatif perbandingan sosial. Dan manfaatnya nyata: rasa cemas berkurang, pikiran lebih jernih, serta perhatian kita kembali pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.
Buah dari Hati yang Tenang dan Merasa Cukup
Ketika kita mampu menjaga ketenangan dan merasa cukup, hati terasa lega karena tidak lagi dibebani oleh ambisi-ambisi murahan yang sering kali hanya melelahkan. Hubungan dengan orang lain pun menjadi lebih hangat, karena kita hadir dengan hati yang tulus, bukan dengan rasa iri atau ingin dibandingkan. Produktivitas pun lebih stabil, sebab energi kita tercurah pada proses dan bukan pada kecemasan akan hasil. Pada akhirnya, seluruh perjalanan hidup menjadi lebih bermakna: setiap tindakan sederhana berubah menjadi wujud syukur dan ibadah, yang membuat kita sadar bahwa damai dan cukup adalah bentuk kebahagiaan sejati yang Allah anugerahkan
Tips Praktis Mengendalikan Perbandingan di Media Sosial
- Atur batas waktu: gunakan timer aplikasi.
- Kurasi feed tiap minggu.
- Jurnal perbandingan terbalik: tulis pelajaran & nikmat Anda.
- Ritual pagi tanpa layar (60 menit pertama).
- Terapkan “cek kebenaran” kognitif: tanyakan pada diri, “Apakah saya melihat gambaran lengkap?”
- Praktik gratitude sharing dengan keluarga/teman.
Rangkuman SIMASBEN
Signifikansi: Ketenangan hati lebih bernilai daripada pujian publik.
Masalah: Perbandingan sosial diperkuat media sosial membuat kita merasa kurang. (PubMed)
Solusi: Latihan syukur, batas digital, reframing kognitif, intervensi perilaku. (PMC)
Benefit: Hati tentram, hidup jadi ibadah, hubungan lebih bermakna.
Sumber utama (baca singkat / untuk referensi lebih lanjut)
- Primack, B. A. et al. (2017) — Social Media Use and Perceived Social Isolation Among Young Adults, American Journal of Preventive Medicine.
PubMed: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28279545/
Full text (PMC): https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5722463/ - Seabrook, E. M.; Kern, M. L.; Rickard, N. (2016) — Social networking sites, depression and anxiety: a systematic review, JMIR Mental Health.
JMIR article (full text PMC): https://mental.jmir.org/2016/4/e50
(also on PMC: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC5143470/) - American Psychological Association (APA) — Health advisory on adolescent social media use.
Halaman topik/advisory APA: https://www.apa.org/topics/social-media-internet/health-advisory-adolescent-social-media-use - U.S. Department of Health & Human Services (HHS) / Surgeon General — Social Media and Youth Mental Health (Advisory / review).
Ringkasan & halaman advisori: https://www.hhs.gov/surgeongeneral/reports-and-publications/youth-mental-health/social-media/index.html
PDF advisori lengkap (Surgeon General): https://www.hhs.gov/sites/default/files/sg-youth-mental-health-social-media-advisory.pdf - Andrade, F. C. et al. (2023) — Intervening on Social Comparisons on Social Media: Electronic Daily Diary Pilot Study (pilot intervensi).
Full text (PMC): https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC10182465/
(PubMed record: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37115607/)